Senin, 18 Oktober 2010

Teknik Penulisan Karya Tulis Ilmiah Baik dan Benar

Teknik Penulisan Karya Tulis Ilmiah Baik dan Benar - Tugas kuliah banyak nih, jadi gak sempet nulis di blogger kesayanganku.  Kemarin ada tugas Filsafat Pendidikan Islam disuruh buat makalah Pengertian Spiritual Teaching malah ada tambahan tugas Karya ilmiah nih. Tapi tenang aja zaw buat sahabat Toko Blog yang lagi nyari cara penulisan karya ilmiah yang benar nih saya kasih rangkuman makalah Teknik Penulisan Karya Tulis. 

Berbeda dengan tulisan artikel yang cara pengetikannya dilakukan sekehendak penulisnya, pengetikan karya ilmiah harus disusun secara sistematik. Pada penulisan artikel, naskah masih melalui proses pengeditan oleh redaktur surat kabar atau majalah yang akan memuatnya. Tetapi pada penulisan karya ilmiah, penulisnya sendiri yang bertindak sebagai editor. Karena itulah pemilihan jenis huruf, spasi, baris, batas tepi, alinea baru, permulaan kalimat, judul, sub judul, bilangan dan satuan harus ditata, sehingga mudah dibaca. Beberapa ketentuan untuk pengetikan karya ilmiah adalah sebagai berikut :


1. Bahan dan Ukuran
a. Bahan yang digunakan untuk pengetikan karya ilmiah adalah kertas HVS 70 gram untuk isi, dan konstruk atau buffalow untuk sampul (cover) berwarna hijau.
b. Ukuran kertas untuk pengetikan ilmiah umumnya menggunakan kuarto atau letter (279,4 x 215,9) mm, digunakan hanya untuk satu muka (tidak bolak-balik). Posisi kertas vertikal (tall), kecuali untuk pengetikan tabel bisa digunakan secara horizontal (wide).
c. Jenis huruf (font), pada dunia modern sekarang ini, penulisan karya ilmiah tidak lagi pantas menggunakan mesin tik biasa (manual). Pengetikan harus memakai komputer, atau paling tidak dicetak. Untuk pengetikan dengan komputer, huruf yang digunakan harus huruf normal yang sering digunakan secara umum, yaitu time, time new normal atau arial. Jangan menggunakan huruf-huruf aneh, yang pada akhirnya akan menyulitkan pembaca.
d. Ukuran huruf (size) pilih yang standar. Pada program Wordstar gunakan ukuran (size) 10 point. Untuk program lainnya misalnya : Chi-writer, Amipro, Microsoft Word dan Page Maker menggunakan ukuran 12 point. Jenis huruf (font) maupun ukuran (size) harus dipakai untuk pengetikan keseluruhan naskah. Kecuali untuk abstraksi, tabel dan judul bisa memakai huruf dan ukuran yang berbeda. Jumlah halaman minimal 40 halaman termasuk halaman prancis.

2. Cara Pengetikan
Pengetikan karya ilmiah punya cara tersendiri, antara lain sebagai berikut:
a. Bilangan dan Satuan
Pengetikan bilangan dan satuan harus ditulis dengan angka, kecuali pada permukaan kalimat. Misalnya, empat puluh juta rupiah dihabiskan untuk penelitian ini (permulaan kalimat). Penelitian ini menghabiskan dana Rp. 40.000.000 (kalimat biasa). Pengetikan bilangan desimal ditandai dengan koma (,) bukan titik (.). Misalnya, 16,50 kg beras. Pengetikan jumlah satuan dinyatakan dengan singkatan resmi yang berlaku tanpa menambah titik di belakangnya. Misalnya : km, m, cm, 1, dan sebagainya.
b. Spasi Baris
Spasi atau jarak antara dua baris dibuat dengan spasi ganda atau 2 spasi. Kecuali untuk kutipan langsung yang melebihi 2 baris. Judul dan tabel yang melebihi 2 baris, pengetikannya dengan spasi tunggal atau 1 spasi.
c. Batas Tepi
Batas-batas pengetikan diukur dari tepi kertas. Ukurannya sebagai berikut: batas atas (top) 40 mm, bawah (bottom) 30 mm, sisi-sisi kiri (left) 40 mm, dan kanan (right) 30 mm.
d. Alinea Baru
Penulisan alinea baru pada karya tulis ilmiah diukur dari sisi kiri batas garis kertas dengan masuk sampai 5 digit atau ketikan. Jadi huruf pertama tiap alinea baru adalah pada ketikan ke-6 (enam).
e. Pengisian Ruangan
Pada prinsipnya, ruangan yang tersedia pada lembar kertas yang sudah diberi garis batas halaman, yaitu bagian atas, bawah, kiri, dan kanan, harus diisi penuh dengan naskah karya ilmiah. Jangan sampai ada ruangan yang kosong, kecuali untuk daftar tabel atau gambar.
f. Judul, Subjudul, dan Anak Judul
1) Judul karya ilmiah harus ditulis dengan huruf besar (capital) semua, ukuran huruf dipilih dan diatur sedemikian rupa, agar simetris dengan ukuran kertas yang digunakan. Pada akhir kalimat judul tidak perlu diberi titik.
2) Subjudul. Penulisan subjudul menggunakan huruf yang sama dengan judul, tetapi ukurannya lebih kecil. Penempatan subjudul berada di bawah judul tanpa diberi garis. Sama seperti judul pada akhir kalimat sub judul, tidak perlu diberi titik.
3) Anak judul. Anak judul pada umumnya berada di bagian dalam (isi naskah). Penulisannya dimulai dari garis batas tepi sisi kiri dan diberi garis bawah. Anak judul menggunakan huruf biasa bukan huruf besar (capital), kecuali huruf pertama pada anak judul.
g. Perincian ke Bawah
Pada penulisan karya ilmiah, yang memiliki naskah kalimat yang harus disusun ke bawah gunakan nomor urut memakai angka atau huruf. Misalnya 1, 2, 3 dan seterusnya, atau a, b, c dan seterusnya. Jika masih ada urutan berikutnya bisa memakai 1.1, 1.2, 1.3 dan seterusnya. Atau a.a, a.b, a.c dan seterusnya. Jangan gunakan kata penghubung garis datar (-), untuk naskah kalimat tersusun.
h. Sisipan (Insert)
Sisipan (insert) berupa gambar, grafik, tabel, dan sebagainya ditempatkan pada bagian tengah halaman secara simetris, yaitu sisi kiri dan kanan jaraknya sama.

3. Penomoran
Pemberian nomor pada karya ilmiah penempatannya harus benar. Penomoran ini biasanya ada dua, yaitu nomor halaman dan nomor tabel.
a. Nomor Halaman
1) Pada bagian awal halaman karya ilmiah dari halaman judul sampai ke daftar pustaka, serta tabel, gambar dan lampiran menggunakan huruf Romawi, tetapi ditulis dengan ukuran kecil. Misalnya, i, ii, iii, iv, v, dan seterusnya.
2) Bagian dalam atau halaman isi karya ilmiah, penomorannya menggunakan huruf latin biasa seperti 1, 2, 3 dan seterusnya. Penempatan nomor halaman terdapat beberapa bentuk, yaitu pada bagian kanan atas halaman, atau bagian kanan bawah tiap halaman, atau juga di tengah-tengah halaman bagian bawah. Untuk halaman isi yang ada judul bab, tidak perlu diberi nomor urut tetapi dilompati. Misalnya halaman 8, 9, dan 10. Pada halaman 9 ada judul bab. Maka penomorannya 8, kosong dan 10.

b. Nomor Tabel dan Gambar
Semua tabel dan persamaan yang digunakan pada karya tulis ilmiah harus diberi nomor urut dengan angka biasa. Penempatan nomor pada sisi kanan atas tiap tabel, gambar atau persamaan.

4. Tabel dan Gambar
a. Tabel (daftar)
1) Nomor tabel
Nomor tabel atau daftar seluruhnya ditulis dengan huruf besar (capital), penempatannya di atas tabel. Nama tabel yang terdiri dari lebih satu baris, digunakan spasi tunggal. Penempatannya di tengah-tengah halaman naskah. Nomor tabel ditempatkan pada sudut kanan atas di luar tabel tanpa diakhiri dengan titik.
2) Kolom tabel
Kolom-kolom dalam tabel diberi nama dan dijaga simetrisnya agar pemisahan masalah satu dengan masalah lainnya dapat jelas. Untuk itu, pemisahan masalah dalam kolom-kolom perlu diberi garis horizontal atau vertikal.
3) Tabel besar
Tabel besar yang ukurannya melebihi satu halaman, dapat dibuat dalam halaman ganda (double page), tetapi penempatannya tetap sesuai dengan nomor halaman. Tidak dibenarkan memisah tabel besar menjadi beberapa halaman.
4) Judul kolom tabel
Judul kolom pada tabel harus tepat di tengah, sehingga ruang yang kosong dalam tabel dapat memberi pandangan yang lebih luas lagi.
5) Sumber tabel
Sumber tabel yang terdiri dari tulisan sumber serta nara sumber, diberi tempat di bawah tabel berjarak sekitar 2 spasi.
b. Gambar
1) Nomor gambar yang diikuti dengan judul ditempatkan secara simetris di atas gambar. Kata-kata dalam judul gambar tidak perlu diberi titik.
2) Penempatan gambar tidak boleh dipenggal, tetapi bisa dilipat dan di tempat dan sesuai dengan nomor urut halaman ini.
3) Keterangan gambar dituliskan di tempat yang kelihatan kosong di dalam gambar.

5. Kutipan, Footnote, dan Backnote
a. Kutipan
1) Menulis kutipan harus sama dengan aslinya, baik tentang susunan kalimat, ejaan atau tanda bacanya. Jika kalimat yang dikutip itu tidak menggunakan huruf latin, misalnya huruf Arab, Kanji, Jawa dan sebagainya, terlebih dulu harus diganti dengan huruf latin.
2) Kutipan yang menggunakan bahasa selain Bahasa Inggris harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia terlebih dahulu. Terjemahan itu ditempatkan di bawha kalimat kutipan berjarak 2 spasi, dengan cara penulisan yang sama dengan cara penulisan kutipan.
3) Kutipan yang panjangnya kurang dari 5 baris, dimasukkan dalam teks biasa berspasi 2, ditambah tanda petik pada awal dan akhir kalimat kutipan. Kutipan yang panjangnya 5 baris atau lebih diketik berspasi 1 dengan mengosongkan 4 karakter dari kiri dengan jarak 1 spasi.
4) Bilamana dalam kutipan perlu menghilangkan beberapa bagian dari kalimat, maka pada bagian itu diberi titik 3 buah. Misalnya: "… keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah, sepenuhnya terletak pada kemampuan SDM pada masing-masing daerah…" Undang-undang nomor 22 tahun 1999 menyebutkan, dst.
5) Apabila kutipan yang dihilangkan itu langsung sampai pada akhir kalimat, maka jumlah titik di awal kalimat menjadi 4. Misalnya: "….dengan otonomi daerah, pemerintah daerah tingkat II dcapat dengan leluasa mengelola kekayaan daerahnya masing-masing".
6) Jika yang dihilangkan itu satu kalimat atau lebih dalam kutipan tersebut, maka diketik titik-titik sepanjang satu baris. Contoh: "Demokrasi yang dituntut oleh gerakan reformasi, ternyata … yang sangat membingungkan".
7) Panjang kutipan dibatasi jangan sampai melebihi setengah halaman isi buku karya ilmiah.

b. Footnote
Catatan kaki atau footnote dalam halaman karya tulis, bertujuan untuk menyatakan sumber dari kutipan tersebut, yang berisi pendapat, buah pikiran, fakta-fakta atau statement yang bersumber dari tulisan orang lain. Bisa juga footnote itu berisi komentar tentang sesuatu hal, asalkan komentar tersebut dikemukakan dalam teks.
1) Catatan kaki atau footnote diberi nomor. Bila dalam satu halaman terdapat lebih dari satu footnote, penulisannya diberi jarak 1 spasi.
2) Catatan kaki ditempatkan pada halaman yang sama dengan kutipan tersebut.
3) Jarak catatan kaki atau footnote dengan kalimat pada teks terakhir pada halaman naskah, adalah 4 spasi dan diberi garis pemisah kurang lebih 3 cm, dari tepi kiri naskah ke tengah-tengah antara teks dengan footnote.
4) Catatan kaki dapat diambil dari sumber-sumber seperti: buku, majalah, surat kabar, dan karangan yang tidak diterbitkan, seperti thesis, disertasi atau ensiklopedi.
5) Nomor catatan kaki dapat diangkat sedikit ke atas dari ban footnote, tetapi jangan sampai mencapai satu spasi. Nomor tersebut jaraknya 6 karakter ketika dari garis tepi sebelah kiri. Jika footnote lebih dari baris, maka baris kedua diketik pada garis tepi dari teks dengan jarak satu spasi. Contoh :
a) Imawan, Riswandha, Metodologi Penelitian, Program Pasca Sarjana Universitas 17 Agustus 1945, Surabaya 1997.
b) Me Quail, Dennis, Mass Communication Theories an Introduction, London Sage Publication, 1994.
6) Apabila catatan kaki terdiri dari kumpulan tulisan yang berasal dari suatu buku, penulisan footnotenya sebagai berikut:
Siregar, Ashadi, Analisis atas perspektif genderisme atas majalah wanita di Indonesia, Lembaga Penelitian UGM, Jogyakarta, 1992. Bejana Wanita, Panitia Dialog Perempuan dalam Iklan Kalyanamitra, Jakarta, 1996.
7) Jika footnote mengambil dari buku-buku terjemahan, maka disebutkan nama penulis buku, bukan yang menerjemahkannya. Misalnya : Douglas A. Boyd, Critical Studies in Mass Communication, terjemahan Sumarsono, BP3U Surabaya, 2000.
8) Dalam footnote penulisan nama pengarang dilakukan menurut urutan nama yang sewajarnya, sesuai dengan yang tertulis pada buku yang diacu. Pangkat atau gelar seperti Prof. Dr. Mr. dan sebagainya tidak disebutkan.
9) Keterangan atau penjelasan tentang penerbit, harus disusun secara urut seperti nama, tempat, tahun penerbitan, nomor halaman dan sebagainya.
10) Bila buku tersebut dicetak berulang kali, maka harus ditunjukkan "Cetakan ke…" di belakang judul buku yang dirujuk, dengan diberi garis bawah. Antara judul dengan keterangan tentang cetakan dapat diberi pemisah dengan tanda koma. Contoh: Littlejohn, Stephen W, Theories of Human Communication, fifth edition, Wardaworth Publishing Company, USA, 1996.
11) Jika yang dijadikan footnote adalah majalah, penulisannya sebagai berikut: Gunawan Muhammad, Pembreidelan itu, Buku Putih Tempo, Jakarta, 1996.
12) Apabila footnote berasal dari buku-buku yang berjilid, keterangan tentang jilid itu harus diletakkan sebelum nama penerbit. Contoh: Astrid S., Susanto, teori Komunikasi dan Praktek Jilid I, Cipta, Bandung, 1977.
13) Apabila yang dirujuk untuk catatan kaki tersebut berasal dari tulisan surat kabar, maka cara menulisnya sebagai berikut: 'Surabaya Post", 24 Mei, 1997.
14) Menulis footnote tidak perlu ditulis selengkap-lengkapnya. Jika suatu sumber sudah pernah dituliskan sebelumnya dengan lengkap, maka footnote tersebut dapat dipersingkat dengan menggunakan singkatan. Misalnya ibid, op. cit atau Loc.cit.
Ibid adalah kependekan dari ibidem artinya pada tempat yang sama. Ibidem dipakai jika suatu kutipan diambil dari sumber yang sama dengan yang dituliskan pada lembar sebelumnya.
Op.cit., merupakan kependekan dari opere citato" artinya dalam karangan sudah pernah disebut sebelumnya. Op. cit digunakan untuk merujuk pada karangan atau buku yang telah dituliskan sebelumnya dengan lengkap pada halaman lain, serta sudah diselingi dengan sumber-sumber lain.
Loc.cit, adalah kependekan dari Loco Citato yang berarti pada tempat yang telah disebutkan. Kegunaan loc.cit adalah untuk menunjuk pada halaman yang sama dari sumber-sumber yang sudah dituliskan sebelumnya.
Contoh penggunaan ibid, op.cit dan loc.cit:
Rakhmat, Jalaluddin, Psikologi Komunikasi, Remaja Rosda Karya, Bandung, 1984, hal: 197.
Ibid. hal 29 (berarti sama dengan buku yang disebut sebelumnya)


D. KERANGKA UMUM PENULISAN KARYA ILMIAH
Pada dasarnya karya ilmiah memiliki kerangka umum sebagai berikut :
Namun perlu diperhatikan bahwa muatan dari setiap bagian kerangka umum beragam tergantung pada permasalahan yang dikaji.
1. Kerangka Umum Penelitian, Pengembangan dan Evaluasi
Kerangka umum penelitian, pengembangan dan evaluasi dapat dirangcang sebagai berikut :
2. Kerangka Umum Laporan Buku
Seorang guru yang membuat karya tulis ilmiah dalam bentuk laporan buku dapat menggunakan kerangka umum sebagai berikut :


BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Seorang guru yang ingin berdedikasi tinggi terhadap dunia pendidikan, tidak boleh tidak mereka harus berupaya untuk melakukan pengembangan profesi. Pengembangan profesi berguna untuk mempertehankan pembinaan atau merubah berbagai hal dalam sistem kelembagaan pendidikan dan juga untuk promosi jenjang karir guru itu sendiri.
Supaya dapat melaksanakan tugas mulia itu, guru dari celah-celah tugas rutinitas mereka yang melelahkan dan hampir-hampir makan cukup waktu itu, mestilah jeli dan aktif melihat realita berupa fakta kependidikan agama dan berbagai faktor yang berhubungan dengan itu dan mengangkatnya menjadi data dalam berbagai penelitian, kegiatan pengembangan dan penelitian.
Dari sini, mereka melahirkan berbagai karya ilmiah, berupalaporan, makalah, artikel, naskah, buku, modul, diktat, terjemahan, saduran, editing, dan lain-lain, baik akan dibawa ke diskusi, lokakarya, workshop, seminar, penerbitan, penyiaran, dll. Kesemuanya ini sangat diharapkan oleh pihak pengambil kebijakan dan keputusan politik dan pelaksanaan dalam pengembangan pendidikan.
B. SARAN-SARAN
Bagi guru yang telah membaca makalah ini sebaiknya diskusikan sesama teman sejawat untuk memahaminya dan mempraktekkannya. Sehingga pengembangan profesi dimaksud segera terrealisasi.
Apabila terdapat hal-hal yang dipandang lebih meningkatkan kualitas dan mempermudah, mohon segera kirimkan kirimkan ke DITMAPENDA ISLAM Departemen Agama, agar segera dicarikan jalan keluar dan menjadi masukan berarti pada perbaikan selanjutnya.


1. Contoh : Halaman Judul

PEDOMAN PENULISAN
KARYA TULIS/KARYA ILMIAH
UNTUK GURU



DISUSUN
DALAM RANGKA MEMENUHI
SALAH SATU PERSYARATAN KENAIKAN
PANGKAT JABATAN GURU




OLEH
…………………………….
NIP: ………………………




KANTOR DEPARTEMEN AGAMA
KABUPATEN/KOTA……………………………
…………………………..
2004

2. Contoh : Lembar Pengesahan

LEMBAR PENGESAHAN



Makalah ini
Telah diperiksa dan disyahkan
Untuk diajukan kepada Tim Penilai
Penetapan Angka Kredit Jabatan
Guru Pendidikan Agama Islam Pusat



Disyahkan di:……………………………
Pada Tgl:…………………….thn……….



Mengetahui:
Kepala Kandepag
Kab/kota……………… Kepala Madrasah………



(………………………) (…………………………)
NIP: …………………. NIP: …………………….
3. Contoh : Rekomendasi dari Pengelola Perpustakaan Sekolah

SURAT KETERANGAN
NOMOR: ………………

Yang bertanda tangan di bawah ini, menerangkan dengan sebenarnya bahwa karya tulis/karya ilmiah:
Saudara : ………………………..
Judul : ………………………..
Dibuat tahun : ………………………..
Telah didokumentasikan di perpustakaan sekolah, dengan nomor induk inventaris: ………………………… dan nomor klasifikasi ………………
Demikian surat ini dibuat agar dapat digunakan seperlunya
………………………

Pengelola
Mengetahui: Perpustakaan Sekolah/Madrasah
Kepala Sekolah/Madrasah …………….………………………..


(…………………………) (…………………………)
NIP: …………………….. NIP: ……………………..

4. Contoh : Keterangan Panitia Seminar, Lokakarya dll


PANITIA LOKAKARYA/SEMINAR
…………………………


Menerangkan dengan sebenarnya bahwa makalah saudara: ………… dengan judul : ……………………….. telah dipresentasikan dalam seminar tentang : ……………………… yang dilaksanakan dari Tgl ………… s/d …………… di …………………
Demikian keterangan ini dibuat untuk dapat dipergunakan seperlunya.

…………………………………
Ketua Panitia
Loka Karya/Seminar ………………..
………………………………..



(……………………………..)
NIP: …………………………




5. Contoh : Kata Pengantar

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga karya tulis/karya ilmiah dengan judul: "PENULISAN KARYA TULIS ILMIAH" ini dapat disusun dengan sebaik-baiknya.
Adapun tujuan dari disusunnya naskah ini, antara lain adalah: Pertama, untuk memenuhi salah satu syarat untuk kenaikan pangkat/jabatan guru setingkat lebih tinggi. Kedua, untuk mengembangkan wawasan melalui tulisan sehingga dapat dibaca dan dikembangkan oleh tenaga kependidikan lainnya.
Sangat disadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu kritik dan saran yang konstruktif sangat diharapkan dari para pembaca. Akhirnya penulis berharap semoga karya yang kecil ini memberi manfaat yang besar bagi kita semua, Amin.

………………………
Penulis

(………………………)
NIP: …………………

6. Contoh : Daftar Isi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN
KETERANGAN PERPUSTAKAAN
KETERANGAN PANITIA SEMINAR (Bila makalah diseminarkan)
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan dan Saran
C. Ruang Lingkup
BAB II. PENGEMBANGAN PROFESI
A. Pengembangan Profesi
B. Karya Tulis Ilmiah
C. Macam-macam Karya Tulis
D. Rincian Angka Kredit Karya Tulis
BAB III. PEDOMAN PENULISAN
A. Persyaratan Administrasi
B. Tehnik-tehnik Penyusunan Karya Tulis
BAB IV. PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran-saran
DAFTAR KEPUSTAKAAN
LAMPIRAN-LAMPIRAN
PEDOMAN PENULISAN
KARYA TULIS/KARYA ILMIAH

A. TEKNIK PENYUSUNAN KARYA TULIS ILMIAH
Dalam penyusunan karya tulis ilmiah yang perlu diperhatikan adalah tehnik-tehnik penggunaan bahasa, tatacara penulisan, pengetikan format laporan, penulisan judul, penyajian gambar dan tabel, pencantuman kutipan, pembuatan catatan kaki, penataan daftar kepustakaan, penyusunan nama pada daftar kepustakaan, perbedaan penulisan catatan kaki dan daftar kepustakaan.

1. Penggunaan Bahasa
Bahasa yang digunakan untuk mengungkapkan pikiran menjadi kalimat yang benar dan baik dalam karya tulis ilmiah di tanah air ini adalah bahasa Indonesia. Karena itu perlu memahami kaidah-kaidah dalam bahasa Indonesia.
Mesti dicermati sebuah kalimat dalam tulisan sehingga memberi pengertian yang utuh, kait mengait dengan kalimat lain sampai membentuk paragraf. Paragraf yang terdiri dari beberapa kalimat, merupakan satuan terkecil dari sebuah karangan. Membangun satuan pikiran sebagai bahagian dari keseluruhan pesan yang disampaikan oleh penulis dalam karangannya dalam bentuk bahagian demi bahagian atau bab demi bab. Penulis ilmiah yang baik adalah perangkai paragraf demi paragraf dengan baik dalam setiap bahagian atau bab.
Paragraf yang baik didahului penataan kalimat yang baik. Kalimat disusun dari deretan kata sesuai aturan dan kaedah bahasa. Selain kalimat memiliki pokok bahasan, yang disebut sebagai pokok kalimat (subjek), bahagian kalimat lainnya memberikan pokok bahasan yang dinamai sebutan (predikat). Pada karangan ilmiah harus digunakan kalimat yang lengkap. Setidak-tidaknya memiliki kedua unsur kalimat tersebut.
Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang disem-purnakan berdasarkan Kepmen P dan K Nomor 0543/a/U/1997, menjadi pedoman yang sebaiknya digunakan dalam penulisan karya ilmiah dalam bahasa Indonesia sepanjang masih berlaku. Pedoman tersebut secara rinci menjelaskan tata cara pemenggalan kata, pemakaian huruf kapital dan huruf miring, penulisan kata, ejaan dan peristilahan. Setidak-tidaknya pedoman tersebut dipunyai dan selalu dipakai oleh seseorang dalam penulisan karya ilmiah yang disajikan dalam bahasa Indonesia.

2. Tata Cara Penulisan
Penilaian karya tulisan ilmiah, disamping memperhatikan isi materi yang disajikan, juga pada tampilan atau wujud fisik karya tulis tersebut. Tampilan fisik tersebut meliputi format, kerapian dan kesesuaian penyajian dengan aturan penulisan ilmiah yang berlaku.
Ada beberapa variasi dalam wujud fisik penyajian karya tulis ilmiah. Namun pada prinsipnya satu sama lain tidak jauh berbeda, yang penting dipegangnya prinsip konsistensi terhadap aturan yang dipakai.
3. Pengertian Format Laporan
Umumnya laporan penelitian karya tulis ilmiah, ditulis di atas kertas warna putih jenis HVS 80 gram atau 70 gram, ukuran lebar 21,5 cm x panjang 28 cm (sering disebut ukuran kertas kuarto). Pengetikan dengan jenis huruf tertentu (umumnya jenis Pica) yang dilakukan hanya pada satu sisi kertas, tidak timbal balik.
Pada bagian pengantar tulisan, yang terdiri dari kata pengantar, daftar isi, daftar tabel, daftar gambar dan abstrak, diberi nomor halaman dengan angka Romawi kecil (i, ii, iii, ….. dst). Selanjutnya mulai dari pendahuluan (Bahagian Pertama atau Bab I) sampai halaman terakhir dengan angka Arab (1, 2, 3, … dst). Nomor halaman dituliskan di tengah atau di sudut kanan atas halaman. Pada halaman yang mempunyai judul bab dimana judul bab nya dimulai dengan halaman tersendiri berpisah dari uraian bab sebelumnya, nomor halaman diletakkan pada bagian bawah halaman baik di tengah maupun di kanan. Bagi nomor yang diketik di tengah halaman di luar teks, jarak dari atas atau bawah halaman adalah 1,5 cm. Bagi nomor halaman yang diletakkan di kanan atas atau kanan bawah marjin teks, nomor diletakkan lurus dengan batas ketikan tepi kanan 1,5 cm.
Batas-batas pengetikan pada kertas ialah: Dari tepi kiri 4 cm; dari tepi kanan 3 cm; dari batas atas 4 cm; sedangkan dari tepi bawah 3 cm. Jarak antara baris teks adalah 1,5 spasi atau 2 spasi, kecuali inti kutipan langsung, judul daftar tabel, daftar gambar, dan daftar kepustakaan menggunakan 1 spasi.
4. Penulisan Judul
Terdapat keragaman dalam tata cara penulisan judul. Hal terbaik yang dapat dilakukan penulis adalah penyesuaian dengan pedoman penulisan yang telah ditetapkan oleh instansi pemberi tugas (bila ada). Bila tidak pedoman ini dapat dipakai sebagai pegangan.
Judul bab ditulis dengan huruf besar (kapital), ditebalkan dan diatur sedemikian rupa hingga letaknya simetris di tengah halaman. Umumnya judul diletakkan di halaman baru. Judul antara judul dengan teks diberi jarak 4 spasi. Judul tidak boleh ditempatkan dalam tanda kurung, tanda kutip, garis bawah, dan tidak boleh diakhiri dengan tanda titik.
Semua kata pada kalimat Judul Sub Bab dimulai dengan huruf kapital (huruf besar), kecuali kata penghubung dan kata depan dan semuanya diberi garis bawah (dengan menggunakan komputer, pemakaian garis bawah digantikan dengan penebalan huruf pada pengetikan). Kalimat sub judul tidak diakhiri tanda titik. Terdapat dua pendapat dalam penempatan sub judul, yakni dituliskan simetris di tengah halaman atau dituliskan rata kiri setelah nomor urut sub judul.
Judul sub-sub bab diketik rata kiri setelah nomor sub judul. Kalimat dimulai huruf besar (hanya huruf awal kalimat saja yang lainnya huruf kecil), diberi garis bawah atau ditebalkan, serta diakhiri dengan titik. Kalimat pertama setelah judul, sub judul, maupun sub-sub judul dimulai dengan alinea baru.
5. Penyajian Gambar dan Tabel
Tulisan ilmiah umumnya dilengkapi dengan gambar, tabel, rumus-rumus atau persamaan-persamaan yang diletakkan simetris terhadap tepi kiri dan kanan kertas. Setiap tabel dan gambar harus diberi nomor urut bab judul. Nomor urut menggunakan angka dua Arab yang dipisahkan oleh tanda titik-titik. Angka pertama menunjukkan pada bab berapa tabel dan gambar itu berada. Sedangkan angka kedua menunjukkan pada nomor urut atau gambar tersebut di bab yang bersangkutan. Misalnya: Gambar 2.1 artinya gambar pertama pada bab 2; Tabel 3.4 artinya tabel keempat ada di bab 3. Nomor persamaan yang berbentuk matematis, ditulis dengan angka Arab di dalam kurung dan diletakkan di batas tepi kanan.
Judul tabel ditulis setelah nomor tabel dengan huruf kecil dan ditempatkan simetris di atas tabel tanpa diakhiri dengan titik. Garis atas tabel dibuat rangkap atau tebal, sedangkan garis bawah hanya satu. Jika tabel itu mempunyai catatan (misalnya menyatakan sumber acuan menjelaskan singkatan yang tidak umum) dituliskan di bawah tabel, rata kiri. Untuk menghindari kekeliruan catatan tabel ditandai dengan bintang, asterik, atau huruf. Hanya catatan untuk judul tabel ditempatkan di tepi bawah halaman.
Usahakan tabel jangan dipenggal. Bila hal itu terjadi, lanjutan tabel yang diletakkan pada halaman berikutnya, nomor tabel dan kata "lanjutan" atau "bersambung" ke halaman berikutnya dituliskan. Di halaman tempat sambu-ngan itu dituliskan sambungan tabel sebelumnya (Contoh: Tabel 3.2 lanjutan). Tabel terdiri kolom-kolom yang harus diberi nama dan pembatas yang tegas. Kalau jajaran kolom lebih panjang dari lebar kertas, maka bahagian atas tabel sebaiknya diletakkan di sebelah kiri kertas. Sedangkan tabel yang sangat lebar dan panjang harus dilipat sehingga seyogyanya diletakkan dalam lampiran.
Laporan penelitian juga sering dilengkapi dengan sajian gambar: Grafik, peta, foto, daftar alir, skedul dll. Penempatan gambar-gambar diusahakan sedekat mungkin dengan uraian dalam teks yang berkaitan dengan gambar tersebut. Gambar hendaknya disajikan pada bagian atau pada halaman sesudah uraian teksnya dan jangan sebaliknya.
Setiap gambar harus mempunyai nomor gambar dan diikuti dengan judul gambar yang dibuat sedemikian rupa sehingga simetris terhadap gambar dan diletakkan di bawah gambar (Ingatlah: Nomor dan judul tabel diletakkan di atas tabel, sedangkan nomor dan judul gambar diletakkan di bawah gambar). Keterangan gambar sebaiknya diletakkan di tempat yang lowong di dalam gambar. Gambar yang bentuknya memanjang sepanjang kertas, bagian atas gambar ditempatkan di sebelah kiri kertas.
6. Pencantuman Kutipan
Dalam penulisan karya ilmiah seringkali diperguna-kan kutipan-kutipan untuk memperjelas dan menegaskan isi uraian atau untuk membuktikan apa yang dituliskan. Kutipan merupakan pinjaman kalimat atau pendapat dari orang lain. Cukup banyak hal-hal penting dan yang sudah ditulis dalam buku-buku. Penulis dapat mengutip pendapat tersebut, dengan syarat harus menyebutkan dari mana dan dimana pendapat itu diambil.
Terdapat dua macam kutipan yaitu kutipan lengkap dan kutipan isi. Kutipan lengkap artinya, teks asli dikutip secara lengkap kata dan kalimatnya. Sedangkan pada kutipan isi, hanya intisari pendapat yang dikutip. Kutipan lengkap harus ditulis dengan tanda kutip. Kutipan yang terlalu panjang, hendaknya diambil yang benar-benar perlu saja.
Kutipan lengkap yang panjangnya tidak lebih dari empat baris dapat langsung dimasukkan dalam teks dengan diapit oleh tanda kutip. Sedangkan untuk kutipan isi, tidak perlu diberi tanda kutip. Pada akhir kutipan diberi nomor untuk penunjukan (hal ini dilakukan bila penjelasan kutipan menggunakan catatan kaki seperti terurai di bawah). Terdapat cara penunjukan kutipan yang lain, yakni yang dikenal dengan cara Harvard. Menggunakan cara ini, pada akhir atau awal kutipan dituliskan nama pengarang dan tahun terbitan serta halaman buku acuan. Seringkali nomor yang dikutip juga dituliskan. Berikut disajikan beberapa contoh: Suhardjono dam Mukidam (1993) menyatakan bahwa "…….."; Dan Julius, 1992 (dalam Amiuza, 1991:12) menulis "………." (Mismail, 1984: 119).

7. Pembuatan Catatan Kaki
Catatan kaki (footnotes) merupakan penjelasan keterangan isi dalam teks karangan yang ditempatkan di kaki halaman. Tujuan penjelasan itu dapat berupa (1) sumber asal kutipan (bila cara ini dipakai); (2) keterangan tambahan lain yang perlu tentang isi keterangan; (3) merujuk bagian lain dari teks.
Catatan kaki dimaksudkan untuk memberikan informasi sumber asal kutipan harus mengungkapkan (1) Nama atau nama-nama penulis sebagai sumber (perhatikan cara penulisan nama yang berbeda dengan cara penulisan nama pada daftar kepustakaan); (2) Judul buku/makalah tulisan sumber; (3) Penerbit; (4) Kota dan tahun terbit, nama penerbit berbeda dengan daftar kepustakaan yang harus menyebut nama penerbit; (5) Halaman letak kutipan pada buku sumber.
Aturan penulisan catatan kaki ini berbeda dengan penulisan daftar pustaka yang tidak mencantumkan halaman. Pembatas antara masing-masing informasi menggunakan tanda koma dan tanda kurung (bedakan dengan daftar pustaka yang menandai tanda titik). Sumber kutipan dapat diperoleh dari buku, majalah, surat kabar, wawancara peraturan, atau mengutip dari kutipan.
Penulisan catatan kaki adalah sebagai berikut: (1) Harus diberikan nomor penunjukan terhadap teks yang dijelaskan; (2) Diletakkan di bawah garis (sepanjang 15 ketikan) yang berada 3 spasi di bawah teks bagian bawah; (3) Masuk 5-7 ketikan dari sembir kiri; (4) Menggunakan 1 spasi; (5) Jarak antara dua catatan kaki, sebanyak 2 spasi.
Catatan kaki umumnya disingkat dengan kata singkatan bahasa latin, seperti: ibid, op. cit, dan loc. cit. Ibid (singkatan dari ibidem) artinya pada tempat yang sama dan halaman yang berbeda serta belum diantarai sumber lain. Singkatan ini dipakai bila catatan kaki yang berikut menunjuk kepada sumber yang telah disebut pada catatan kaki sebelumnya. Op. cit (singkatan dari opera citato) berarti pada karya yang telah dikutip dan halamannya berbeda, dipakai bila catatan itu menunjuk pada sumber yang telah lebih dahulu, tetapi telah diselingi oleh catatan kaki yang lain. Sedangkan Loc. cit (dari loco citato) artinya pada tempat yang telah dikutip di halaman yang sama dan telah diantarai atau tidak diantarai oleh sumber lain.
Pedoman penyajian catatan kaki seringkali berbeda dari satu kepustakaan dengan kepustakaan yang lain. Sangat bijaksana untuk mengikuti pedoman dari pemberi tugas (bila ada). Bila tidak ada yang penting adalah ketaat-asasan (konsistensi) dalam tata cara penulisan. Artinya dalam satu karangan gunakan satu pedoman tata cara penulisan tertentu atau penggabungan yang dapat dipertanggung jawabkan secara aturan dan etika ilmu pengetahuan.
8. Penulisan Daftar Kepustakaan
Daftar kepustakaan (bibliography) harus dapat memberikan informasi secara lengkap mengenai nama penulis, judul kepustakaan, keterangan penerbit dan waktu penerbitan. Dalam menuliskannya terdapat beberapa cara yang sedikit berbeda antara yang satu dengan yang lainnya.
Secara umum cara penulisan daftar kepustakaan adalah sebagai berikut:
a. Jarak penulisan dalam satu sumber daftar kepustakaan dibuat satu spasi, sedangkan antara satu sumber kepustakaan dengan yang lainnya diberi jarak dua spasi;
b. Huruf pertama rapat sembir kiri, sedang baris berikutnya mundur 5 ketukan dari sembir kiri sehingga ketukan pertama huruf adalah pada ketukan ke-6;
c. Nama penulis disusun menurut abjad awal nama dan umumnya tidak perlu memberikan nomor urut;
d. Informasi disajikan sesuai urutan abjad awal nama pengarang, judul kepustakaan, keterangan penerbitan, tempat terbitnya dan waktu terbitan. Antar informasi itu dipisahkan dengan tanda titik.

9. Penyusunan Nama pada Daftar Kepustakaan
Penyusunan nama pada daftar kepustakaan, seringkali membingungkan. Bila suatu kepustakaan mempunyai dua nama pengarang hendaknya diperhatikan cara penulisan nama pengarang pertama (nama keluarga dituliskan di belakang).
Penulisan nama di daftar kepustakaan tidak perlu dituliskan gelar kesarjanaan atau pangkatnya. Untuk nama Indonesia yang hanya terdiri dari satu unsur, dituliskan sebagaimana adanya (misalnya: Suhardjono). Namun banyak nama yang terdiri dari dua unsur atau lebih. Untuk nama yang diikuti dengan nama ayah (Budiono Ismail), nama keluarga (Mohammad Farid Baradja), atau marga (Muchtar Lubis), maka nama ayah, nama keluarga, nama marga dituliskan terlebih dahulu dan disusul dengan unsur nama berikutnya setelah tanda koma.
Saat ini makin sering juga dijumpai nama Indonesia yang terdiri dari dua unsur atau lebih yang bukan merupakan gabungan nama ayah, keluarga atau marga, misalnya: Riyanto Hariwibowo, Dwi Anita Rukmanasari, Sri Mulyani. Menuliskannya dilakukan dengan unsur nama terakhir diletakkan di depan, jadi dituliskan sebagai berikut: Hariwibowo, Riyanto; Rukmanasari, Dwi Anita; Mulyani, Sri.
Bila nama diikuti dengan gelar (Raden Udiyanto, Andi Adam) atau nama panggilan (Like Wilardjo) maka nama diri dituliskan terlebih dahulu dari gelarnya atau penggilan-nya (Udiyanto, Raden; Adam, Andi; Wilardjo, Like).
Namun bila nama tersebut merupakan gabungan dari gelar, nama dan nama keluarga (Andi Hakim Nasution), maka penulisan nama keluarga dilakukan terlebih dahulu (Nasution, Andi Hakim). Penulisan nama Bali (I Gusti Ngurah Adipa), dimulai dengan nama diri dan baru disusul unsur nama yang lain (Adipa, I Gusti Ngurah). Namun bila masih ada nama keluarga di belakangnya (I Wayan Wija Pagehgiri) dituliskan dengan menempatkan nama keluarga di depan (Pagehgiri, I Wayan Wija).
Bila kepustakaan yang dirujuk tidak menunjukkan nama penulisnya, dituliskan sebagai pengganti nama kata "anonim".
Secara umum, cara penulisan informasi tentang judul kepustakaan, keterangan penerbit, dan waktu penerbitan sama dengan aturan pada penulisan catatan kaki. Baik pada catatan kaki maupun daftar kepustakaan, nama judul sumber digarisbawahi atau dimiringkan.
10. Perbedaan Penulisan Catatan Kaki dan Daftar Kepustakaan
a. Pada catatan kaki nama diri ditulis terlebih dahulu (Contoh: Budiono Mismail; J.E. Wert; Bambang Handoyo; dan Stephen Kakisina). Sedangkan pada daftar pustaka, nama keluarga, marga, ayah, ditulis terlebih dahulu (Contoh: Mismail, Budiono; Wert. J.E.; Handoyo, Bambang dan Kakisina, Stephen);
b. Pada catatan kaki antar informasi dipisahkan oleh tanda koma (contoh: Sri Harto, Hidrologi Terapan, Badan Penerbit UGM, Yogyakarta, 1983, hal. 423). Sedangkan pada daftar kepustakaan dipisahkan oleh tanda titik (contoh: Harto, Sri. Hidrologi Terapan. Yogyakarta: Badan Penerbit UGM, 1983).
c. Pada daftar kepustakaan perlu mencantumkan nama penerbitnya, misalnya: Gramedia; Mc. Graw Hill Company; Badan Penerbit UGM; dll. Sedangkan pada catatan kaki tidak terlalu diperlukan dan kalau dicantumkan juga tidak salah.
d. Pada daftar pustaka tidak perlu menuliskan halaman tempat dimana kutipan pustaka tersebut diambil, sementara pada kutipan dalam teks atau pada catataan kaki itu perlu.
e. Urutan penulisan daftar kepustakaan mempunyai beberapa variasi, misalnya ada yang menempatkan tahun terbitan setelah nama penerbit, dan beragam variasi lain. Untuk kita pedomani saja contoh yang telah ada pada buku ini.
Demikianlah sejumlah tehnik penulisan karya tulis ilmiah untuk pegangan dasar dalam memulai pembuatan rancangan penelitian, pengembangan, evaluasi serta pelaporannya, pembuatan makalah, artikel, naskah media elektronik, pembuatan buku, modul, diktat, terjemahan, saduran, dll.

B. PERSYARATAN ADMINISTRASI
Dalam rangka memenuhi keabsahan sebuah karya tulis atau karya ilmiah guru untuk kenaikan pengkat dan atau jabatan guru setingkat lebih tinggi, maka perlu diperhatikan persyaratan-persyaratan administrasi sebagai berikut:
1. Karya tulis/karya ilmiah yang diajukan kepada tim penilai hendaknya diberi judul yang dituangkan dalam halaman "judul" (contoh halaman judul terlampir).
2. Karya tulis/karya ilmiah yang akan diajukan kepada tim penilai harus disyahkan terlebih dahulu oleh kepala sekolah/kepala madrasah tempat bersangkutan bertugas. Tanpa adanya lembar pengesahan tersebut karya tulis tidak diberi nilai. (contoh lembar pengesahan terlampir).
3. Karya tulis/karya ilmiah yang diajukan kepada tim penilai hendaknya telah mendapat rekomendasi dari pengelola perpustakaan sekolah yang menyatakan bahwa karya tersebut didokumentasikan di perpustakaan sekolah guru yang bersangkutan. (contoh rekomendasi terlampir).
4. Bila karya tulis ilmiah yang diajukan merupakan makalah atau bahan dalam kegiatan penataran, seminar, lokakarya dll, maka harus ada keterangan dari panitia pelaksana kegiatan tersebut. (contoh keterangan terlampir).
5. Dalam karya tulis/karya ilmiah hendaknya dibuatkan kata pengantar yang disusun oleh penulis, kata pengantar ini penting, agar tim penilai dapat melihat kapan penulis membuat karya ini. (contoh kata pengantar terlampir).
6. Karya tulis/ilmiah yang diajukan hendaknya dilengkapi dgn out line (daftar isi) yang agak rinci agar tim penilai mudah melakukan tugas penilaian. (contoh daftar isi terlampir).
7. Dalam sebuah karya tulis/karya ilmiah yang diajukan kepada tim penilai, hendaknya dilengkapi dengan daftar kepustakaan/daftar bacaan. (sebagaimana contoh terlampir).

Semoga postingan Teknik penulisan karya tulis ilmiah ini bisa jadikan referensi sahabat Toko Blog untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah atau kuliahnya. Buat kamu yang masih pelajar ayo pada belajar selalu supaya semakin pandai karena para gurumu sekarang lagi sibuk bikin RPP tuh :)

Kamis, 07 Oktober 2010

download lagu indo terbaru

1. Ungu - Percaya Padaku
    Download
2. Kangen Band - Sakit Hati
    Download
3. Mely goslow - kembalikan lagi senyumku
    Download
   

Pengertian Pendidikan Nilai

Pengertian Pendidikan Nilai - Ini adalah tugas mata kuliah KSPI Toko Blog semoga bab Pendidikan Nilai ini bisa membantu sahabat juga yang sedangmencari referensi mata kuliyah. 
Dari Non Vitae sed Scholae Discimus Menuju Non Scholae sed Vitae Discimus
Krisnamurti

Bab I. Pendahuluan
Pendidikan sejak dahulu kala memang cocok bila disebut “kegelisahan sepanjang zaman.” Masing-masing zaman mempunyai problem pendidikan yang berlainan. Bahkan, dalam dunia yang serba modern ini, masih ada epidemi yang meracuni dunia pendidikan, termasuk di Indonesia. Realitas pendidikan yang selama ini ada di Indonesia menjadi indikasi yang kuat. Kali ini, problemanya, pendidikan telah jatuh pada pragmatisme. Pendidikan tidak lagi berpegang pada filosofi dasarnya lagi, melainkan, semata-mata, menjadi sarana penghasil “alat” yang berguna bagi masyarakat. Tujuan pendidikan yang esensial dan mulia dikalahkan oleh berbagai macam lembaga atau isme yang hendak memenangkan kepentingannya. Pendidikan hanya mengabdi kepada kepentingan negara, sebagai wadah sebuah masyarakat.
Karya tulis ini disusun berdasarkan tema: “Mengembalikan paradigma filosofi pendidikan Indonesia agar tidak terjebak dalam pragmatisme pendidikan.” Jadi, karya tulis ini hendak menanggapi keprihatinan yang ada dalam realitas dunia pendidikan di Indonesia, yaitu bahwa pendidikan Indonesia mulai jatuh dalam pragmatisme. Selanjutnya, karya tulis ini bertujuan menjelaskan mengapa pendidikan Indonesia jatuh dalam pragmatisme dan memberikan solusi supaya dunia pendidikan Indonesia dapat tetap berpegang pada filosofi pendidikan, bukannya jatuh terus dalam pragmatisme. Karya tulis ini hendak merangsang para policymakers pendidikan Indonesia untuk membangun suatu bentuk sistem pendidikan yang bermutu. Karya tulis ini disusun dengan metode studi kepustakaan serta observasi empiris, walau secara tidak langsung. Selanjutnya, data-data tersebut dianalisa dan disintesa demi menjawab permasalahan pendidikan Indonesia ini.
Karya Tulis ini dibagi menjadi empat bagian. Bagian pertama menjadi pendahuluan yang memaparkan latar belakang, tujuan, metode, dan sistematika penulisan karya tulis ini. Selanjutnya, bab dua melukiskan penyebab dunia pendidikan Indonesia mulai jatuh dalam pragmatisme. Bab tiga akan memberikan solusi serta metode agar dunia pendidikan Indonesia tidak jatuh terus dalam pragmatisme. Bagian terakhir akan menjadi penutup dari seluruh perjalanan ide karya tulis ini.

Bab II. Pendidikan Indonesia: Non Vitae sed Scholae Discimus
Pertanyaan mendasar yang ada, mengapa pendidikan Indonesia mulai jatuh dalam pragmatisme. Untuk menjawabnya, diperlukan refleksi atas realitas sejarah dunia pendidikan Indonesia. Dalam hal ini, orde baru mempunyai peranan yang signifikan karena selama 32 tahun, sejak kejatuhan orde lama, orde baru menguasai seluruh aspek hidup bangsa Indonesia, termasuk dunia pendidikan.
Sebenarnya, hanya terdapat satu sebab utama yang melatarbelakangi hal itu. Semuanya bermula dari tujuan pembangunan yang menjadi ambisi orde baru, yaitu keberhasilan sektor ekonomi. Dunia ekonomi dianggap sebagai faktor yang urgen dan menempati posisi poros dalam memajukan negara. Karena itu, pendidikan dijadikan pabrik produksi manusia-manusia yang nantinya dapat memenuhi kebutuhan ekonomi negara semata-mata. Artinya, pendidikan harus bisa memenuhi permintaan tenaga kerja dari sektor industri sebagai sektor ekonomi yang diutamakan pada zaman globalisasi ini.
Hitam di atas putih, perjalanan sasaran yang terungkap dalam lima Pelita dalam PJPT I menunjukkan runtutan sasaran yang sistematis; dimulai dengan sektor agraris dan secara bertahap sampai dengan sektor industri. Sayangnya, dalam prakteknya, sektor agraris seakan-akan ditinggalkan begitu saja, dan diganti sepenuhnya dengan industrialisasi. Tampak pemerintah begitu berambisi mengikuti pola Barat, yaitu industrialisasi. Selanjutnya, melalui indoktrinasi, pemerintah orde baru telah membuat dunia pendidikan Indonesia lepas dari filosofi dasar pendidikan. Dunia pendidikan Indonesia dijadikan abdi industrialisasi. Dunia pendidikan Indonesia dipaksa harus bisa memenuhi kebutuhan tenaga kerja sektor industri semata-mata. Praktik pendidikan lalu cenderung mengutamakan transfer ilmu pengetahuan dan teknologi ( kognitif dan psikomotorik ) dan melupakan aspek-aspek kepribadian anak didik yang lain ( afektif).
Demi terwujudnya obsesi itu, orde baru menerapkan sistem target yang tidak menekankan pada proses, melainkan, pada jumlah bahan dan hasil semata-mata. Sistem target semacam itu hanya mementingkan kuantitas. Padahal, yang seharusnya ditekankan adalah kualitas. Yang jelas, tujuan pendidikan tidak sesempit itu (mengenai filosofi pendidikan akan dijelaskan pada bab tiga). Sejak itulah, dunia pendidikan Indonesia mulai jatuh pada pragmatisme. Pendidikan Indonesia tidak lagi menekankan pendidikan untuk kehidupan, namun pendidikan hanya diarahkan pada sekolah yang telah dituntut memenuhi ambisi pihak-pihak tertentu. Kesimpulannya, pendidikan Indonesia bercorak non vitae sed scholae discimus. Dalam bahasa Indonesia, non vitae sed scholae discimus berarti kita belajar bukan untuk kehidupan, melainkan untuk sekolah. Jadi, sekolah menjadi tujuan utama sehingga hakekat pendidikan yang seharusnya menjadi tujuan utama diabaikan. Nilai-nilai kehidupan yang seharusnya ditanamkan tertutupi oleh ambisi ikut dalam industrialisasi.

Bab III. Non Scholae sed Vitae Discimus: Pendidikan Nilai
3.1. Kembali ke Filosofi Dasar Pendidikan
Setelah melihat keprihatinan mengenai pendidikan Indonesia serta penyebabnya, yang harus dilakukan adalah kembali ke filosofi dasar pendidikan. Pendidikan adalah sebuah tindakan fundamental, yaitu perbuatan yang menyentuh akar-akar hidup kita sehingga mengubah dan menentukan hidup manusia. Jadi, mendidik adalah suatu perbuatan yang fundamental karena mendidik itu mengubah dan menentukan hidup manusia. Kesejahteraan suatu bangsa amat bergantung pada tingkat pendidikannya, apalagi pada zaman sekarang. Kesimpulannya, pendidikan itu me-manusia-kan manusia muda Pendidikan adalah suatu bentuk hidup bersama yang membawa manusia muda ke tingkat manusia purnawan. (Driyarkara, 1991). Jadi, corak pendidikan Indonesia harus dibalik, dari non vitae sed scholae discimus menjadi non scholae sed vitae discimus yang artinya, kita belajar bukan untuk sekolah, melainkan untuk kehidupan. Jadi, pendidikan Indonesia harus dilaksanakan demi kehidupan. Hal ini menjadi solusi supaya pendidikan Indonesia tidak jatuh dalam pragmatisme.

3.2. Revitalisasi Pendidikan Nilai
Mewujudkan pendidikan bercorak non scholae sed vitae discimus berarti menumbuhkan pendidikan nilai. Pendidikan pada hakekatnya bersendikan nilai-nilai yang tinggi dan esensial kedudukannya dalam kebudayaan. Salah satu konsep filosofi dasar pendidikan menurut Theodore Bramelt adalah bahwa pendidikan harus mampu menjadi agen atau perantara yang menanamkan nilai-nilai yang ada dalam jiwa stake holder (Barnadib, 1990). Mendidik juga berarti memasukkan anak ke dalam alam nilai-nilai, atau, memasukkan dunia nilai-nilai ke dalam jiwa anak (Driyarkara, 1991). Pendidikan nilai bukan saja perlu karena dapat mengembalikan filosofi dasar pendidikan Indonesia yang seharusnya non scholae sed vitae discimus, namun juga perlu karena Indonesia, sebagai negara Pancasila, pada hakekatnya, menuntut pendidikan nilai karena ciri khasnya justru
terletak dalam komitmen terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai landasan negara. Dunia masa kini menghadapi suatu perubahan budaya akibat kemajuan ilmu dan teknologi yang juga membawa dampak negatif berupa lunturnya nilai-nilai yang vital, misalnya, nilai kegotong-royongan, nilai kesopanan, nilai kesusilaan. Maka, harus ada usaha reservasi nilai-nilai kehidupan supaya tidak punah. Dalam hal ini, pendidikan nilai berperan penting.

3.3. Konsep Pendidikan Nilai
Pertama, perlu diperjelas dahulu mengenai konsep nilai dan norma. Bertens mengungkapkan bahwa nilai adalah sesuatu yang menarik bagi kita, sesuatu yang kita cari, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai dan diinginkan, singkatnya, sesuatu yang baik (Adimassana; 2001). Pendapat ini sejalan dengan pemikiran Piet G.O. bahwa konsep nilai dalam arti sifat yang berharga menurutnya adalah sifat dari suatu hal, benda, atau pribadi yang memenuhi kebutuhan elementer manusia yang memang serba butuh atau menyempurnakan manusia yang memang tak kunjung selesai dalam pengembangan dirinya secara utuh, menyeluruh, dan tuntas (Piet GO, 1990). Menurut Sinurat, nilai dan perasaan tidak dapat dipisahkan, keduanya saling mengandaikan, perasaan adalah aktifitas psikis di mana manusia menghayati nilai (Adimassana; 2001). Yang bernilai menimbulkan perasaan positif dan yang tidak bernilai menimbulkan perasaan negatif.
Selaras dengan pemikiran-pemikiran diatas, Hans Jonas mengatakan bahwa nilai itu the addresse of a yes (Adimassana; 2001). Jadi, nilai adalah sesuatu yang selalu kita setujui. Sementara itu, norma adalah aturan atau patokan baik tertulis atau tidak tertulis yang berfungsi sebagai pedoman bertindak. Bila tiap manusia punya suatu sistem nilai dalam dirinya, dan sistem nilai itu dihidupi dan dijadikan pedoman hidup, berarti manusia itu sudah memenuhi kriteria manusia purnawan. Tujuan pendidikan nilai secara global adalah mencapai manusia yang seutuhnya; menjadi manusia purnawan, jika menggunakan bahasa Driyarkara.
Pendidikan nilai hendak mencapai manusia yang sehat; mencapai pribadi yang terintegrasi jika menggunakan bahasa Philomena Agudo. Integrasi pribadi memadukan semua bakat dan kemampuan daya manusia dalam kesatuan utuh menyeluruh. Pembawaan fisik, emosi, budi, dan rohani diselaraskan menjadi kesatuan harmonis. GBHN 1988 Bab II B mendukung pernyataan ini : Landasan Pembangunan Nasional: “Berdasarkan pola pikiran bahwa hakekat Pembangunan Nasional adalah Pembangunan Manusia Indonesia seutuhnya…..” Jadi, pendidikan nilai itu manifestasi non scholae sed vitae discimus.

3.4. Pendidikan Nilai vs Pendidikan Pragmatis
Pada awalnya, tujuan pendidikan Indonesia yang bercorak pragmatis (diistilahkan non vitae sed scholae discimus) baik. Dengan penekanan di sektor ekonomi, terutama lewat industrialisasi, negara hendak meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh bangsa Indonesia, dan dari situ, akan dicapai keadilan sosial. Namun, pendidikan menjadi
produsen tenaga-tenaga terampil semata, tidak menghasilkan manusia purnawan atau manusia utuh atau manusia terintegrasi. Pada masa-masa krisis multidimensional sekarang ini, pendidikan yang bercorak pragmatis itu malahan memperparah keadaan. Mengapa? Pendidikan pragmatis ini menghasilkan manusia-manusia yang mungkin cerdas dan terampil namun belum tentu berbudi baik. Ada segudang problem yang bisa dijadikan indikator, mulai dari masalah sosial, politik, rasial, lingkungan hidup, ketakwaan, susila, rasa kebangsaan, dan banyak lagi. Masing-masing mengacu pada kesimpulan bahwa sumber daya manusia (yang notabene dihasilkan oleh pendidikan pragmatis) itu kurang dalam segi humaniora.
Pendidikan nilai menghasilkan sumber daya manusia yang utuh, menyeluruh, sehat, purnawan, terintegrasi. Pribadi yang dibentuk oleh pendidikan nilai tetap mampu memenuhi tuntutan sektor ekonomi, tanpa harus kehilangan keutuhannya sebagai seorang manusia. Justru dalam masa-masa krisis multidimensional yang sedang dialami bangsa Indonesia inilah, pendidikan nilai amat berperan. Pendidikan nilai menghasilkan manusia yang mampu mengaktualisasikan dirinya. Menurut Maslow (Agudo, 1999), aktualisasi itu akan nampak pada:
1. Penerimaan diri, orang lain, dan kenyataan kodrat.
2. Spontan dan jujur dalam pemikiran, perasaan, dan perbuatan.
3. Membutuhkan dan menghargai keintiman diri (privasi).
4. Pandangan realitas mantap.
5. Kekuatan untuk menghadapi problem di luar dirinya sendiri.
6. Pribadi mandiri.
7. Menghargai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sendiri.
8. Menjalin hubungan pribadi dengan yang Transenden.
9. Persahabatan dekat dengan beberapa sahabat atau orang-orang tercinta.
10. Ramah terbuka karena dapat menghargai dan menerima pribadi yang lain.
11. Perasaan tajam, peka akan nilai-nilai rasa moral susila teguh dan kuat.
12. Humor tanpa menyakitkan.
13. Kreativitas, bisa menemukan diri sendiri, tidak selalu ikut-ikutan.
14. Mampu menolak pengaruh yang mau menguasai atau memaksakan diri.
15. Dapat menemukan identitasnya
Kelima belas manifestasi aktualisasi diri hasil pendidikan nilai itu menjadi modal dasar untuk menyelesaikan krisis multidimensional yang menjangkiti bangsa Indonesia. Kesimpulannya, pendidikan nilai bukan hanya menyediakan sumber daya manusia bagi sektor ekonomi tanpa kehilangan keutuhannya tapi, pendidikan nilai juga membentukmanusia-manusia yang mampu mengatasi krisis yang rumit sekalipun.

Bab IV. Penutup
Praktik pendidikan zaman orde baru yang diabdikan pada kepentingan industrialisasi telah melepaskan pendidikan dari filosofi dasarnya. Ini berarti pendidikan Indonesia telah jatuh dalam pragmatisme. Pendidikan hanya mengutamakan kognitif dan psikomotorik dan melupakan aspek-aspek afektif sehingga bercorak non vitae sed scholae discimus. Solusi yang harus dilakukan adalah kembali kepada filosofi dasar pendidikan dengan mengubah non vitae sed scholae discimus menjadi nonscholae sed vitae discimus. Metode yang paling tepat untuk mewujudkannya adalah pendidikan nilai.
Akhirulkalam, penulis berharap karya tulis ini dapat merangsang perevitalisasian pendidikan nilai supaya pendidikan Indonesia tidak jatuh terus dalam pragmatisme.

Daftar Pustaka
http://tok0blog.blogspot.com
Atmadi, A. & Setiyaningsih (eds.), Transformasi Pendidikan (Yogyakarta: Kanisius, 2001)
Agudo, Philomena, Aku Memilih Engkau (Yogyakarta: Kanisius, 1999)
Barnadib, Imam, Filsafat Pendidikan (Yogyakarta: Andi Offset, 1990)
Driyarkara, Driyarkara: Tentang Pendidikan (Yogyakarta: Kanisius, 1991)
Eyre, Richard & Linda, Mengajarkan Nilai-Nilai kepada Anak (Jakarta: Gramedia, 1997) Piet , Pendidikan Nilai di Sekolah Katolik (Malang: Dioma, 1991)
Sindhunata (ed.), Pendidikan: Kegelisahan Sepanjang Zaman (Yogyakarta: Kanisius, 2001)
Sindhunata (ed.), Menggagas Paradigma Baru Pendidikan (Yogyakarta: Kanisius, 2000)
Tilaar, H.A.R, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional (Magelang: Indonesia Tera, 1999)
Witherington, H.C, Psikologi Pendidikan (Jakarta: Aksara Baru, 1982)
BASIS edisi khusus Paulo Freire
BASIS edisi khusus Pendidikan

Itulah sekilas pembahasan tentang Pengertian Pendidikan Nilai yang sahabat Toko Blog ketahui. Silahkan untuk memberikan komentar anda.

PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM MENUJU MASYARAKAT MADANI

PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM MENUJU MASYARAKAT MADANI
Tinjauan Filosofis

Hujair AH. Sanaky

Pe
ndahuluan
Akhir-akhir ini sering muncul ungkapan dari sebahagian pejabat pemerintah, politisi, cendekiawan, dan tokoh-tokoh masyarakat tentang masyarakat madani (sebagai terjemahan dari kata civil society). Tanpaknya, semua potensi bangsa Indonesia dipersiapkan dan diberdayakan untuk menuju masyarakat madani yang merupakan cita-cita dari bangsa ini. Masyarakat madani diprediski sebagai masyarakat yang berkembang sesuai dengan potensi budaya, adat istiadat, dan agama. Demikian pula, bangsa Indonesia pada era reformasi ini diarahkan untuk menuju masyarakat madani, untuk itu kehidupan manusia Indonesia akan mengalami perubahan yang fundamental yang tentu akan berbeda dengan kehidupan masayakat pada era orde baru. Kenapa, karena dalam masyarakat madani yang dicita-citakan, dikatakan akan memungkinkan "terwujudnya kemandirian masyarakat, terwujudnya nilai-nilai tertentu dalam kehidupan masyarakat, terutama keadilan, persamaan, kebebasan dan kemajemukan [pluraliseme]" , serta taqwa, jujur, dan taat hokum [Bandingkan dengan Masykuri Abdillah, 1999:4].

Konsep masyarakat madani merupakan tuntutan baru yang memerlukan berbagai torobosan di dalam berpikir, penyusunan konsep, serta tindakan-tindakan. Dengan kata lain, dalam menghadapi perubahan masyarakat dan zaman, “diperlukan suatu paradigma baru di dalam menghadapi tuntutan-tuntutan yang baru, demikian kata filsuf Kuhn. Karena menurut Kuhn, apabila tantangan-tantangan baru tersebut dihadapi dengan menggunakan paradigma lama, maka segala usaha yang dijalankan akan memenuhi kegagalan".
Terobosan pemikiran kembali konsep dasar pembaharuan pendidikan Islam menuju masyarakat madani sangat diperlukan, karena "pendidikan sarana terbaik yang didisain untuk menciptakan suatu generasi baru pemuda-pemudi yang tidak akan kehilangan ikatan dengan tradisi mereka sendiri tapi juga sekaligus tidak menjadi bodoh secara intelektual atau terbelakang dalam pendidikan mereka atau tidak menyadari adanya perkembangan-perkembangan disetiap cabang pengetahuan manusia [Conference Book, London, 1978:16-17]. Berdasarkan apa yang dikemukakan di atas, maka masalah yang perlu dicermati dalam pembahasan ini adalah bagaimanakah pendidikan Islam didisain menuju masyarakat madani Indonesia.
1. Konsep Masyarakat Madani
Istilah masyarakat Madani sebenarnya telah lama hadir di bumi, walaupun dalam wacana akademi di Indonesia belakangan mulai tersosialisasi. "Dalam bahasa Inggris ia lebih dikenal dengan sebutan Civil Society". Sebab, "masyarakat Madani", sebagai terjemahan kata civil society atau al-muftama' al-madani. ....Istilah civil society pertama kali dikemukakan oleh Cicero dalam filsafat politiknya dengan istilah societies civilis, namun istilah ini mengalami perkembangan pengertian. Kalau Cicero memahaminya identik dengan negara, maka kini dipahami sebagai kemandirian aktivitas warga masyarakat madani sebagai "area tempat berbagai gerakan sosial" [seperti himpunan ketetanggaan, kelompok wanita, kelompok keagamaan, dan kelompk intelektual] serta organisasi sipil dari semua kelas [seperti ahli hukum, wartawan, serikat buruh dan usahawan] berusaha menyatakan diri mereka dalam suatu himpunan, sehingga mereka dapat mengekspresikan diri mereka sendiri dan memajukkan pelbagai kepentingan mereka. Secara ideal masyarakat madani ini tidak hanya sekedar terwujudnya kemandirian masyarakat berhadapan dengan negara, melainkan juga terwujudnya nilai-nilai tertentu dalam kehidupan masyarakat, terutama keadilan, persamaan, kebebasan dan kemajemukan [pluralisme] [Masykuri Abdillah, 1999:4]. Sedangkan menurut, Komaruddin Hidayat, dalam wacana keislaman di Indonesia, adalah Nurcholish Madjid yang menggelindingkan istilah "masyarakat madani" ini, yang spirit serta visinya terbakukan dalam nama yayasan Paramadinah [terdiri dari kata "para" dan "madinah", dan atau "parama" dan "dina"]. Maka, secara "semantik" artinya kira-kira ialah, sebuah agama [dina] yang excellent [paramount] yang misinya ialah untuk membangun sebuah peradaban [madani] [Kamaruddin Hidayat, 1999:267-268].
Kata madani sepintas orang mendengar asosiasinya dengan kata Madinah, memang demikian karena kata Madani berasal dari dan terjalin erat secara etimologi dan terminologi dengan Madinah yang kemudian menjadi ibukota pertama pemerintahan Muslim. Maka, "Kalangan pemikir muslim mengartikan civil society dengan cara memberi atribut keislaman madani [attributive dari kata al-Madani]. Oleh karena itu, civil society dipandang dengan masyarakat madani yang pada masyarakat idial di [kota] Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam masyarakat tersebut Nabi berhasil memberlakukan nilai-nilai keadilan, prinsip kesetaraan hukum, jaminan kesejahteraan bagi semua warga, serta perlindungan terhadap kelompok minoritas. Dengan begitu, kalangan pemikir Muslim menganggap masyarakat [kota] Madinah sebagai prototype masyarakat ideal produk Islam yang dapat dipersandingkan dengan masyarakat ideal dalam konsep civil society"[Thoha Hamim, 1999:4].
Menurut Komaruddin Hidayat, bagi kalangan intelektual Muslim kedua istilah [masyarakat agama dan masyarakat madani] memilki akar normatif dan kesejarahan yang sama, yaitu sebuah masyarakat yang dilandasi norma-norma keagamaan sebagaimana yang diwujudkan Muhammad SAW di Madinah, yang berarti "kota peradaban", yang semula kota itu bernama Yathrib ke Madinah difahami oleh umat Islam sebagai sebuah manifesto konseptual mengenai upaya Rasulullah Muhammad untuk mewujudkan sebuah masyarakat Madani, yang diperhadapkan dengan masyarakat Badawi dan Nomad [Kamaruddin Hidayat, 1999:267]. Untuk kondisi Indonesia sekarang, kata Madani dapat diperhadapkan dengan istilah masyarakat Modern.
Dari paparan di atas dapat dikatakan bahwa, bentuk masyarakat madani adalah suatu komunitas masyarakat yang memiliki "kemandirian aktivitas warga masyarakatnya" yang berkembang sesuai dengan potensi budaya, adat istiadat, dan agama, dengan mewujudkan dan memberlakukan nilai-nilai keadilan, prinsip kesetaraan [persamaan], penegakan hukum, jaminan kesejahteraan, kebebasan, kemajemukan [pluralisme], dan perlindungan terhadap kaum minoritas. Dengan demikian, masyarakat madani merupakan suatu masyarakat ideal yang dicita-citakan dan akan diwujudkan di bumi Indonesia, yang masyarakatnya sangat plural.
Dari uraian di atas, maka sangat perlu untuk mengetahui ciri masyarakat tersebut. Antonio Rosmini, dalam “The Philosophy of Right, Rights in Civil Society” [1996: 28-50] yang dikutip Mufid, menyebutkan pada masyarakat madani terdapat sepuluh ciri yang menjadi karakteristik masyarakat tersebut, yaitu: Universalitas, supermasi, keabadian, dan pemerataan kekuatan [prevalence of force] adalah empat ciri yang pertama. Ciri yang kelima, ditandai dengan "kebaikan dari dan untuk bersama". Ciri ini bisa terwujud jika setiap anggota masyarakat memiliki akses pemerataan dalam memanfaatkan kesempatan [the tendency to equalize the share of utility]. Keenam, jika masyarakat madani "ditujukan untuk meraih kebajikan umum" [the common good], kujuan akhir memang kebajikan publik [the public good]. Ketujuh, sebagai "perimbangan kebijakan umum", masyarakat madani juga memperhatikan kebijakan perorangan dengan cara memberikan alokasi kesempatan kepada semua anggotanya meraih kebajikan itu. Kedelapan, masyarakat madani, memerlukan "piranti eksternal" untuk
mewujudkan tujuannya. Piranti eksternal itu adalah masyarakat eksternal. Kesembilan, masyarakat madani bukanlah sebuah kekuatan yang berorientasi pada keuntungan [seigniorial or profit]. Masyarakat madani lebih merupakan kekuatan yang justru memberi manfaat [a beneficial power]. Kesepuluh, kendati masyarakat madani memberi kesempatan yang sama dan merata kepada setiap warganya, tak berarti bahwa ia harus seragam, sama dan sebangun serta homogin [Mufid, 1999:213].
Lebih lanjut, menurut Mufid, menyatakan bahwa masyarakat madani terdiri dari berbagai warga beraneka "warna", bakat dan potensi. Karena itulah, masyarakar madani di sebut sebagai masyarakat "multi-kuota" [a multi quota society]. Maka, secara umum sepuluh ciri tersebut sangat idial, sehingga mengesankan seolah tak ada masyarakat seideal itu. Kalau ada, yaitu masyarakat muslim yang langsung dipimpin oleh Nabi SAW yang relatif memenuhi syarat tersebut. Memang, masyarakat seideal masyarakat “madinah” telah diisyaratkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam sabdanya, "tak ada satupun masyarakat di dunia ini yang sebaik masyarakat atau sebaik-baik masa adalah masaku" [ahsanul qurun qarni] - terlepas dari status sahih dan tidaknya sabda ini, ataupun siapa periwayatnya [Mufid, 1999:213-214]. Diakui bahwa masyarakat Madinah yang dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad SAW merupakan prototype masyarakat idial. Maka, prototype masyarakat madani tersebut, pada era reformasi ini, nampaknya akan upayakan untuk diwujudkan di Indonesia atau dengan kata lain akan ditiru dalam wacana masyarakat Indonesia yang sangat pluralis.
2. Pendidikan Islam
Sebelum membahas tentang pengertian pendidikan Islam, terlebih dahulu membahas apa itu pendidikan? Menurut M.J. Langeveld ; "Pendidikan merupakan upaya manusia dewasa membimbing yang belum kepada kedewasaan [Kartini Kartono, 1997:11]. Ahmad D.Marimba, merumuskan pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh sipendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani siterdidik menuju terbentuknya keperibadian yang utama [Ahmad D. Marimba, 1978:20]. Demikian dua pengertian pendidikan dari sekian banyak pengertian yang diketahui. Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor : 2 Tahun 1989, "pendidikan dirumuskan sebagai usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi perannya di masa yang akang datang. Sedangkan, "pendidikan dalam pengertian yang luas adalah meliputi perbuatan atau semua usaha generasi tua untuk mengalihkan [melimpahkan] pengetahuannya, pengalamannya, kecakapan serta keterampilannya kepada generasi muda, sebagai usaha untuk menyiapkan mereka agar dapat memenuhi fungsi hidupnya, baik jasmaniah maupun rohaniah [Zuhairin, 1985:2].
Para ahli Filsafat Pendidikan, menyatakan bahwa dalam merumuskan pengertian pendidikan sebenarnya sangat tergantung kepada pandangan terhadap manusia; hakikat, sifat-sifat atau karakteristik dan tujuan hidup manusia itu sendiri. Perumusan pendidikan bergantung kepada pandangan hidupnya, "apakah manusia dilihat sebagai kesatuan badan dan jasmani; badan, jiwa dan roh, atau jasmani dan rohani? Apakah manusia pada hakekatnya dianggap memiliki kemampuan bawaan [innate] yang menentukan perkembangannya dalam lingkungannya, atau lingkungannyalah yang menentukan [domain] dalam perkembangan manusia? Bagimanakah kedudukan individu dalam masyarakat? Apakah tujuan hidup manusia? Apakah manusia dianggap hanya hidup sekali di dunia ini, ataukah hidup lagi di hari kemudian [akhirat]? Demikian beberapa pertanyaan filosofis" yang diajukan.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas , memerlukan jawaban yang menentukan pandangan terhadap hakekat dan tujuan pendidikan, dan dari sini juga sebagai pangkal perbedaan rumusan pendidikan atau timbulnya aliran-aliran pendidikan
seperti; pendidikan Islam, Kristen, Liberal, progresif atau pragmatis, komunis, demokratis, dan lain-lain. Dengan demikian, terdapat keaneka ragaman pendangan tentang pendidikan. Tetapi, "dalam keanekaragaman pandangan tentang pendidikan terdapat titik-titik persamaan tentang pengertian pendidikan, yaitu pendidikan dilihat sebagai suatu proses; karena dengan proses itu seseorang [dewasa] secara sengaja mengarahkan pertumbuhan atau perkembangan seseorang [yang belum dewasa]. Proses adalah kegiatan mengarahkan perkembangan seseorang sesuai dengan nilai-nilai yang merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas. Maka, dengan pengertian atau definisi itu, kegiatan atau proses pendidikan hanya berlaku pada manusia tidak pada hewan" [Anwar Jasin, 1985:2].
Dari uraian di atas, timbul pertanyaan apakah Pendidikan Islam itu? Pendidikan Islam adalah suatu pendidikan yang melatih perasaan murid-murid dengan cara begitu rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan, keputusan, dan pendekatan mereka terhadap segala jenis pengetahuan, mereka dipengaruhi sekali oleh nilai spritual dan sangat sadar akan nilai etis Islam [Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, 1986:2], atau menurut Abdurrahman an-Nahlawi, "pendidikan Islam mengantarkan manusia pada perilaku dan perbuatan manusia yang berpedoman pada syariat Allah [Abdurrahman an-Nahlawi, 1995:26].
Dari pandangan ini, dapat dikatakan bahwa pendidikan Islam bukan sekedar "transper of knowledge" ataupun "transper of training", ....tetapi lebih merupakan suatu sistem yang ditata di atas pondasi “keimanan” dan “kesalehan”, yaitu suatu sistem yang terkait secara langsung dengan Tuhan [Roihan Achwan, 1991:50]. Dengan demikian, dapat dikatakan pendidikan Islam suatu kegiatan yang mengarahkan dengan sengaja perkembangan seseorang sesuai atau sejalan dengan nilai-nilai Islam. Maka sosok pendidikan Islam dapat digambarkan sebagai suatu sistem yang membawa manusia kearah kebahagian dunia dan akhirat melalui ilmu dan ibadah. Karena pendidikan Islam membawa manusia untuk kebahagian dunia dan akhirat, maka yang harus diperhatikan adalah "nilai-nilai Islam tentang manusia; hakekat dan sifat-sifatnya, misi dan tujuan hidupnya di dunia ini dan akhirat nanti, hak dan kewajibannya sebagai individu dan anggota masyarakat. Semua ini dapat kita jumpai dalam al-Qur'an dan Hadits [Anwar Jasin, 1985:2].
Jadi, dapat dikatakan bahwa "konsepsi pendidikan model Islam, tidak hanya melihat pendidikan itu sebagai upaya "mencerdaskan" semata [pendidikan intelek, kecerdasan], melainkan sejalan dengan konsep Islam tentang manusia dan hakekat eksistensinya. ...Maka,..pendidikan Islam sebagai suatu pranata sosial, juga sangat terkait dengan pandangan Islam tentang hakekat keberadaan [eksistensi] manusia. Oleh karena itu, pendidikan Islam juga berupaya untuk menumbuhkan pemahaman dan kesadaran bahwa manusia itu sama di depan Allah dan perbedaanya adalah terletak pada kadar ketaqwaan masing-masing manusia, sebagai bentuk perbedaan secara kualitatif" [M.Rusli Karim, 1991:29-32].
Pendidikan berupaya untuk menumbuhkan pemahaman dan kesadaran pada manusia, maka sangat urgen sekali untuk memperhatikan konsep atau pandangan Islam tentang manusia sebagai makhluk yang diproses kearah kebahagian dunia dan akhirat, maka pandangan Islam tentang manusia antara lain: Pertama, konsep Islam tentang manusia, khsusunya anak, sebagai subyek didik, yaitu sesuai dengan Hadits Rasulullah, bahwa “anak manusia” dilahirkan dalam fitrah atau dengan "potensi" tertentu [Anwar Jasin, 1985:2]. Dalam al-Qur'an, dikatakan "tegakkan dirimu pada agama dengan tulus dan mantap, agama yang cocok dengan fitrah manusia yang digariskan oleh Allah. Tak ada perubahan pada ketetapan-Nya.....[ar-Rum : 30]. Dengan demikian, manusia pada mulanya dilahirkan dengan "membawa potensi" yang perlu dikembangkan dalam dan oleh lingkungannya. Pandangan ini, "berbeda dengan teori
tabularasa yang menganggap anak menerima "secara pasif" pengaruh lingkungannya, sedangkan konsep fitrah mengandung "potensi bawaan" aktif [innate patentials, innate tendencies] yang telah di berikan kepada setiap manusia oleh Allah [Anwar Jasin, 1985:3]. Bahkan dalam al-Qur'an, sebenarnya sebelum manusia dilahirkan telah mengadakan "transaksi" atau "perjanjian" dengan Allah yaitu mengakui keesaan Tuhan, firman Allah surat al-A'raf : 172, "Ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan Adam dari sulbi mereka dan menyuruh agar mereka bersaksi atas diri sendiri; "Bukankah Aku Tuhanmu?" firman Allah. Mereka menjawab; "ya kami bersaksi" yang demikian agar kamu tidak berkata pada hari kiamat kelak, "kami tidak mengetahui hal ini" [Zaini Dahlan, 1998:304]. Apabila kita memperhatikan ayat ini, memberi gambaran bahwa setiap anak yang lahir telah membawa "potensi keimanan" terhadap Allah atau disebut dengan "tauhid". Sedangakan potensi bawaan yang lain misalnya potensi fisik dan intelegensi atau kecerdasan akal dengan segala kemungkinan dan keterbatasannya.
Selain itu, dalam al-Qur'an banyak dijumpai ayat-ayat yang menggambarkan sifat-sifat hakiki manusia yang mempunyai implikasi baik terhadap tujuan maupun cara pengarahan perkembangannya. Misalnya saja: tentang tanggung jawab, bahwa manusia diciptakan tidak sia-sia, tetapi juga potensi untuk bertanggung jawab atas perbuatannya dan sesuai dengan tingkat kemampuan daya pikul seseorang menurut kodrat atau fitrah-nya [pada al-Mu'minun:115 dan al-Baqrah:286]. Selain itu juga manusia pada hakekat dan menurut kejadiannya bersedia dan sanggup memikul amanah [pada al-Ahzab : 72]. Di samping itu, hal yang juga penting implikasinya bagi pendidikan adalah tanggung jawab yang ada pada manusia bersifat pribadi, artinya tidaklah seseorang dapat memikul beban orang lain, beban itu dipikul sendiri tanpa melibatkan orang lain [pada Faathir:18]. Sifat lain yang ada pada manusia adalah manusia diberi oleh Allah kemampuan al-bayan [fasih perkataan - kesadaran nurani] yaitu daya untuk menyampaikan pikiran dan perasaannya melalui kemampuan berkomunikasi dengan bahasa yang baik [pada ar-Rahman:3-4]. Pada hadits Rasulullah, "barang siapa ingin mencapai kebahagian dunia harus ditempuh dengan ilmu dan barang siapa yang mencari kebahagian akhirat juga harus dengan ilmu, dan barang untuk mencari keduanya juga harus dengan ilmu". Dari pandangan ini, dapat dikatakan bahwa tugas dan fungsi pendidikan adalah mengarhkan dengan sengaja segala potensi yang ada pada seseorang seoptimal mungkin sehingga ia berkembang menjadi seorang muslim yang baik. Kedua, peranan pendidikan atau pengarah perkembanagan. Potensi manusia yang dibawah sejak dari lahir itu bukan hanya bisa dikembangkan dalam lingkungan tetapi juga hanya bisa berkembang secara terarah bila dengan bantuan orang lain atau pendidik. Dengan demikian, tugas pendidik mengarahkan segala potensi subyek didik seoptimal mungkin agar ia dapat memikul amanah dan tanggung jawabnya baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat, sesuai dengan profil manusia Muslim yang baik. Ketiga, profil manusia Muslim. Profil dasar seorang Muslim yang baik adalah ketaqwaan kepada Allah. Dengan demikian, perkembangan anak haruslah secara sengaja diarahkan kepada pembentukan ketaqwaan. Keempat, metodologi pendidikan. Metodologi diartikan sebagai prinsip-prinsip yang mendasari kegiatan mengarahkan perkembangan seseorang, khususnya pada proses belajar-mengajar. Maka, pandangan bahwa seseorang dilahirkan dengan potensi bawaan tertentu dan dengan itu ia mampu berkembang secara aktif dalam lingkungannya, mempunyai implikasi bahwa proses belajar-mengajar harus didasarkan pada prinsip belajar siswa aktif [student active learning] [Anwar Jasin, 1985:4-5].
Jadi, dari pandangan di atas, pendidikan menurut Islam didasarkan pada asumsi bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah yaitu dengan membawa "potensi
bawaan" seperti potensi "keimanan", potensi untuk memikul amanah dan tanggung jawab, potensi kecerdasan, potensi fisik. Karena dengan potensi ini, manusia mampu berkembang secara aktif dan interaktif dengan lingkungannya dan dengan bantuan orang lain atau pendidik secara sengaja agar menjadi manusia muslim yang mampu menjadi khalifah dan mengabdi kepada Allah.
Bersarkan uraian di atas, pengertian pendidikan menurut al-Qur'an dan hadits sangat luas, meliputi pengembangan semua potensi bawaan manusia yang merupakan rahmat Allah. Potensi-potensi itu harus dikembangkan menjadi kenyataan berupa keimanan dan akhlak serta kemampuan beramal dengan menguasai ilmu [dunia – akhirat] dan keterampilan atau keahlian tertentu sehingga mampu memikul amanat dan tanggung jawab sebagai seorang khalifat dan muslim yang bertaqwa. Tetapi pada realitasnya pendidikan Islam, sebagaimana yang lazim dikenal di Indonesia ini, memiliki pengertian yang agak sempit, yaitu program pendidikan Islam lebih banyak menyempit ke-pelajaran fiqh ibadah terutama, dan selama ini tidak pernah dipersoalkan apakah isi program pendidikan pada lembaga-lembaga pendidikan telah sesuai benar dengan luasnya pengertian pendidikan menurut al-Qur'an dan hadits [ajaran Islam].
3. Pembaharuan Pendidikan Islam
Pendidikan Islam di Indonesia masih menghadapi berbagai masalah dalam berbagai aspek. Upaya perbaikannya belum dilakukan secara mendasar, sehingga terkesan seadanya saja ....Selama ini, upaya pembaharuan pendidikan Islam secara mendasar, selalu dihambat oleh berbagai masalah mulai dari persoalan dana sampai tenaga ahli. Padahal pendidikan Islam dewasa ini, dari segi apa saja terlihat goyah terutama karena orientasi yang semakin tidak jelas [Muslih Usa, 1991:11-13]. Berdasarkan uraian ini, ada dua alasan pokok mengapa konsep pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia untuk menuju masyarakat madani sangat mendesak. [a] konsep dan praktek pendidikan Islam dirasakan terlalu sempit, artinya terlalu menekankan pada kepentingan akhirat, sedangkan ajaran Islam menekankan pada keseimbangan antara kepentingan dunia dan akhirat. Maka perlu pemikiran kembali konsep pendidikan Islam yang betul-betul didasarkan pada asumsi dasar tentang manusia yang akan diproses menuju masyarakat madani. [b] lembaga-lembaga pendidikan Islam yang dimiliki sekarang ini, belum atau kurang mampu memenuhi kebutuhan umat Islam dalam menghadapi tantangan dunia modern dan tantangan masyarakat dan bangsa Indonesia disegala bidang. Maka, untuk menghadapi dan menuju masyarakat madani diperlukan konsep pendidikan Islam serta peran sertanya secara mendasar dalam memberdayakan umat Islam,
Suatu usaha pembaharuan pendidikan hanya bisa terarah dengan mantap apabila didasarkan pada konsep dasar filsafat dan teori pendidikan yang mantap. Filsafat pendidikan yang mantap hanya dapat dikembangkan di atas dasar asumsi-asumsi dasar yang kokoh dan jelas tentang manusia [hakekat] kejadiannya, potensi-potensi bawaannya, tujuan hidup dan misinya di dunia ini baik sebagi individu maupun sebagai anggota masyarakat, hubungan dengan lingkungan dan alam semesta dan akhiratnya hubungan dengan Maha Pencipta. Teori pendidikan yang mantap hanya dapat dikembangkan atas dasar pertemuan antara penerapan atau pendekatan filsafat dan pendekatan emperis [Anwar Jasin, 1985:8], Sehubungan dengan itu, konsep dasar pembaharuan pendidikan Islam adalah perumusan konsep filsafat dan teoritis pendidikan yang didasarkan pada asumsi-asumsi dasar tentang manusia dan hubungannya dengan lingkungan dan menurut ajaran Islam.
Maka, dalam usaha pembaharuan pendidikan Islam perlu dirumuskan secara jelas implikasi ayat-ayat al-Qur'an dan hadits yang menyangkut dengan "fitrah" atau potensi bawaan, misi dan tujuan hidup manusia. Karena rumusan tersebut akan menjadi
konsep dasar filsafat pendidikan Islam. Untuk itu, filsafat atau segala asumsi dasar pendidikan Islam hanya dapat diterapkan secara baik jikalau kondisi-kondisi lingkungan ( sosial - kultural ) diperhatikan. Jadi, apabila kita ingin mengadakan perubahan pendidikan Islam maka langkah awal yang harus dilakukan adalah merumuskan konsep dasar filosofis pendidikan yang sesuai dengan ajaran Islam, mengembangkan secara empris prinsip-prinsip yang mendasari keterlaksanaannya dalam konteks lingkungan [sosial – cultural] yang dalam hal ini adalah masyarakat madani. Jadi, tanpa kerangka dasar filosofis dan teoritis yang kuta, maka perubahan pendidikan Islam tidak punya pondasi yang kuat dan juga tidak mempunyai arah yang pasti [Rangkuman dari Anwar Jasin, 1985:8 –9].
Konsep dasar filsafat dan teoritis pendidikan Islam, harus ditempatkan dalam konteks supra sistem masyarakat madani di mana pendidikan itu akan diterapkan. Apabila terlepas dari konteks "masyarakat madani", maka pendidikan menjadi tidak relevan dengan kebutuhan umat Islam pada kondisi masyarakat tersebut [masyarakat madani]. Jadi, kebutuhan umat yang amat mendesak sekarang ini adalah mewujudkan dan meningkatan kualitas manusia Muslim menuju masyarakat madani. Untuk itu umat Islam di Indonesia dipersiapkan dan harus dibebaskan dari ketidaktahuannya [ignorance] akan kedudukan dan peranannya dalam kehidupan "masyarakat madani" dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan Islam haruslah dapat meningkatkan mutu umatnya dalam menuju "masyarakat madani". Kalau tidak umat Islam akan ketinggalan dalam kehidupan "masyarakat madani" yaitu masyarakat ideal yang dicita-citakan bangsa ini. Maka tantangan utama yang dihadapi umat Islam sekarang adalah peningkatan mutu sumber insaninya dalam menempatkan diri dan memainkan perannya dalam komunitas masyarakat madani dengan menguasai ilmu dan teknologi yang berkembang semakin pesat. Karena, hanya mereka yang menguasai ilmu dan teknologi modern dapat mengolah kekayaan alam yang telah diciptakan Allah untuk manusia dan diamanatkan-Nya kepada manusia sebagai khalifah dimuka bumi ini untuk diolah bagi kesejahteraan umat manusia.
Maka masyarakat madani yang diprediski memiliki ciri ; Universalitas, Supermasi, Keabadian, Pemerataan kekuatan, Kebaikan dari dan untuk bersama, Meraih kebajikan umum, Perimbangan kebijakan umum, Piranti eksternal, Bukan berinteraksi pada keuntungan, dan Kesempatan yang sama dan merata kepada setiap warganya. Atas dasar konsep ini, maka konsep filsafat dan teoritis pendidikan Islam dikembangkan sebagai prinsip-prinsip yang mendasari keterlaksanaannya dalam kontek lingkungan masyarakat madani tersebut, sehingga pendidikan relevan dengan kondisi dan ciri sosial kultural masyarakat tersebut. Maka, untuk mengantisipasi perubahan menuju "masyarakat madani", pendidikan Islam harus didisain untuk menjawab perubahan tersebut. Oleh karena itu, usulan perubahan sebagai berikut : [a] pendidikan harus menuju pada integritas antara ilmu agama dan ilmu umum untuk tidak melahirkan jurang pemisah antara ilmu agama dan ilmu bukan agama, karena, dalam pandangan seorang muslim, ilmu pengetahuan adalah satu yaitu yang berasal dari Allah SWT, [b] pendidikan menuju tercapainya sikap dan perilaku "toleransi", lapang dada dalam berbagai hal dan bidang, terutama toleran dalam perbedaan pendapat dan penafsiran ajaran Islam, tanpa melepaskan pendapat atau prinsipnya yang diyakini, (c) pendidikan yang mampu menumbuhkan kemampuan untuk berswadaya dan mandiri dalam kehidupan, [d] pendidikan yang menumbuhkan ethos kerja, mempunyai aspirasi pada kerja, disiplin dan jujur [Suroyo, 1991:45-48], (e) pendidikan Islam harus didisain untuk mampu menjawab tantangan masyarakat madani.
Dalam konteks ini juga perlu pemikiran kembali tujuan dan fungsi lembaga-lembaga pendidikan [Anwar Jasin, 1985:15] Islam yang ada. Memang diakui bahwa penyesuaian lembaga-lembaga pendidikan akhir-akhir ini cukup mengemberikan, artinya
lembaga-lembaga pendidikan memenuhi keinginan untuk menjadikan lembaga-lembaga tersebut sebagai tempat untuk mempelajari ilmu umum dan ilmu agama serta keterampilan. Tetapi pada kenyataannya penyesuaian tersebut lebih merupakan peniruan dengan tambal sulam atau dengan kata lain mengadopsi model yang telah dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan umum, artinya ada perasaan harga diri bahwa apa yang dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan umum dapat juga dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan agama, sehingga akibatnya beban kurikulum yang terlalu banyak dan cukup berat dan bahkan terjadi tumpang tindih.
Lembaga-lembaga pendidikan Islam mengambil secara utuh semua kurikulum [non-agama] dari kurikulum sekolah umum, kemudian tetap mempertahankan sejumlah program pendidikan agama, sehingga banyak bahan pelajaran yang tidak dapat dicerna oleh peserta didik secara baik, sehingga produknya [hasilnya] serba setengah-tengah atau tanggung baik pada ilmu-ilmu umum maupun pada ilmu-ilmu agama. Untuk itu, lembaga-lembaga pendidikan Islam sebenarnya mulai memikirkan kembali disain program pendidikan untuk menuju masyarakat madani, dengan memperhatikan relevansinya dengan bentuk atau kondisi serta ciri masyarakat madani. Maka untuk menuju "masyarakat madani", lembaga-lembaga pendidikan Islam harus memilih satu di antara dua fungsi yaitu apakah mendisain model pendidikan umum Islami yang handal dan mampu bersaing secara kompotetif dengan lembaga pendidikan umum atau mengkhususkan pada disain pendidiank keagamaan yang handal dan mampu bersaing secara kompotetif, misalnya mempersiapkan ulama-ulama dan mujtahid-mujtahid yang berkaliber nasional dan dunia.
Penutup
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulakn sebagai berikut : [1] Menyarakat madani merupakan suatu ujud masyarakat yang memiliki kemandirian aktivitas dengan ciri: universalitas, supermasi, keabadian, pemerataan kekuatan, kebaikan dari dan untuk bersama, meraih kebajikan umum, piranti eksternal, bukan berinteraksi pada keuntungan, dan kesempatan yang sama dan merata kepada setiap warganya. ciri masyarakat ini merupakan masyarakat yang ideal dalam kehidupan. Untuk Pemerintah pada era reformasi ini, akan mengarakan semua potensi bangsa berupa pendidikan, ekonomi, politik, hukum, sosial budaya, militer, kerah masyarakat madani yang dicita-citakan. [2] Konsep dasar pembaharuan pendidikan harus didasarkan pada asumsi-asumsi dasar tentang manusia meenurut aajaran Islam, filsafat dan teori pendidikan Islam yang dijabarkan dan dikembangkan berdasarkan asumsi-asumsi tentang manusia dan lingkungannya. Atau dengan kata lain pembaharuan pendidikan Islam adalah filsafat dan teori pendidikan Islam yang sesuai dengan ajaran Islam, dan untuk lingkungan ( sosial - kultural) yang dalam hal ini adalah masyarakat madani. (3) Konsep dasar pendidikan Islam supaya relevan dengan kepentingan umat Islam dan relevan dengan disain masyarakat madani. Maka penerapan konsep dasar filsafat dan teori pendidikan harus memperhatikan konteks supra sistem bagi kepentingan komunitas "masyarakat madani" yang dicita-citakan bangsa ini.

DAFTAR PUSTAKA

disebarkan oleh http://tok0blog.tk penulis syaiful khobir
 
Abdurrahman an-Bahlawi, Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa Asalibiha fi Baiti wal Madrasati wal Mujtama', Dar al-Fikr al-Mu'asyir, Beiru-Libanon, Cet. II, 1983., Terj., Shihabuddin, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat, Gema Insani Press, 1995.
Ahmad D. Marimba, 1974, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, al-Ma'arif, Bandung, Cet.III,.
Anwar Jasin, 1985, Kerangka Dasar Pembaharuan Pendidikan Islam: Tinjauan Filosofis, Jakarta.
Conference Book, London, 1978.
Fathiyah Hasan Sulaiman, Bahts fi 'L-Madzhab al-Tarbawy 'Inda 'L-Ghazaly, Maktabah Nadhlah, Mesir, 1964., Terj., Ahmad Hakim dan M.Imam Aziz, Konsep Pendidikan al-Ghazali, P3M, Jakarta, Cet. I, 1986.
H.A.R. Tilar, 1998, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21, Tera Indonesia, Magelang, Cet. I,.
Imam Barnadib, 1997, Filsafat Pendidikan Sistem & Metode, Penerbit Andi, Yogyakarta, Cet. Kesembilan,.
Komaruddin Hidayat, 1998, Masyarakat Agama dan Agenda Penegakan Masyarakat Madani, Makalah "Seminar Nasional dan Temu Alumni, Program Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Malang, Tanggal, 25-26 September.
Masykuri Abdillah, 1999, Islam dan Masyarakat Madani, Koran Harian Kompas, Sabtu, 27 Februari.
Mufid, 1998, Reformasi Hukum Menuju Masyarakat Madani, Makalah "Seminar Nasional dan Temu Alumni, Programa Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Malang", Tanggal, 25-26 September.
Muslim Usa (editor)1991, Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, Tiara Wacana, Yogyakarta, Cet. I,
M.Rusli Karim, 1991, Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia, dalam Buku Pendidikan Islam di Indonesia antara Citra dan Fakta, Editor : Muslih Usa, Tiara Wacana, Yogya, Cet.Pertama.
Roihan Achwan, 1991, Prinsip-prinsip Pendidikan Islam Versi Mursi, dlm. Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, Volume 1, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Soroyo, 1991, Antisipasi Pendidikan Islam dan Perubahan Sosial Menjangkau Tahun 2000, dalam Buku : Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, Editor : Muslih Usa, Tiara Wacana, Yogya.
Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, 1986, Crisis Muslim Education, Terj. Rahmani Astuti, Krisis Pendidikan Islam, Risalah.
Thoha Hamim, 1999, Islam dan Masyarakat Madani (1) Ham, Pluralisme, dan Toleransi Beragama, Koran Harian "Jawa Pos", Kamis Kliwon, Tanggal, 11 Maret.
Zuhairini, dkk, 1995, Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, Cet. II,

Konsep Pendidikan Islam dalam Keluarga

Konsep Pendidikan Islam dalam Keluarga
BAB I PENDAHULUAN
Kalau anak-anak orang Islam masa kini ditanya mau jadi apa kelak, jawabnya hampir seragam “jadi dokter”, “jadi insinyur” atau “jadi konglomerat”. Orang tua pun akhirnya akur dengan kemauan anaknya. Ini tentu tidak salah. Tapi hanya menunjukkan suatu imej bahwa pendidikan telah menjadi sarana mencari materi. Anak-anak belajar di sekolah atau universitas, lulus, kemudian bekerja, berpenghasilan dan hidup bahagia. Itu saja. Di sini nilai dan orientasi material lebih dominan ketimbang orientasi moral. Fenomena itu terlihat pula di sekolah-sekolah Islam, yang terpengaruh dengan paham materialisme.
Jika tujuan pendidikan Barat adalah untuk menjadi warga negara yang baik, maka pendidikan Islam untuk menjadi manusia yang baik (insan kamil). Jika target pendidikan di Barat untuk meningkatkan ekonomi negara, maka pendidikan Islam untuk meningkatkan kesejahteraan manusia lahir batin. Keduanya jelas beda. Pendidikan dalam Islam bukan sarana mencari materi saja. Dimensi pendidikan Islam dapat dilihat dari makna yang terkandung dalam istilah tarbiyah yang berarti pengasuhan, pendidikan, ta’lim pengajaran ‘ilm, atau ta’dib yang berarti penanaman ilmu dan adab.
Masalahnya kini umat Islam cenderung mamahami pendidikan sekolah hanya sebatas makna ta’lim pengajaran (pengajaran ilmu). Sedangkan tarbiyah (pendidikan) dilakukan diluar sekolah. Sepertinya ta’lim dipahami sebagai pendidikan formal dan tarbiyah sebagai pendidikan non-formal atau informal dalam pengertian Barat. Akhirnya ta’lim tidak berupa pengajaran ‘ilm yang mengarah pada keimanan dan ketaqwaan dan tidak berdimensi tarbiyah. Sedangkan tarbiyah nya tidak berunsur ta’lim.
Nampaknya nilai-nilai dualisme, sekularisme, dan humanisme telah masuk ke dalam konsep pendidikan kita. Dengan nilai dualisme pengajaran dipisahkan dari pendidikan, dengan sekularisme ilmu yang diajarkan dibagi menjadi ilmu dunia dan ilmu akherat. Dengan nilai humanisme pendidikan dan pengajaran diarahkan untuk kepentingan manusia yang tidak ada kaitannya dengan Tuhannya. Ilmu akhirnya tidak lagi untuk ibadah tapi untuk kemakmuran manusia. Belajar menjadi sarana mencari uang atau kekayaan.
Karena kerancuan konsep maka nilai-nilai adab menjadi semakin kabur. Ilmu tidak membuat orang beradab, malah bisa biadab. Ilmu justru dapat mengurangi iman dan menjauhkan orang dari hikmah ilahiyah. Menurut Prof. Naquib al-Attas kekaburan makna adab atau kehancuran adab tersebut mengakibatkan kezaliman (zulm), kebodohan (jahl), dan kegilaan (junun). Artinya karena kurang adab maka seseorang akan meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya (zalim), melakukan cara yang salah untuk mencapai hasil tujuan tertentu (jahil) dan berjuang berdasarkan kepada tujuan dan maksud yang salah (junun).

BAB II KONSEP PENDIDIKAN ISLAM
Jika makna pendidikan Islam telah terdistorsi oleh konsep-konsep dari Barat, maka konsepnya sudah tentu bergeser dari konsep dasar pendidikan Islam. Konsep pendidikan Islam mestinya tidak menghasilkan SDM yang memiliki sifat zulm, jahl dan junun. Artinya produk pendidikan Islam tidak akan mengambil sesuatu yang bukan haknya, atau meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya (zalim), tidak menempuh cara yang salah dalam mencapai tujuan (jahil) dan tidak salah dalam menentukan tujuan hidup.
Oleh sebab itu pendidikan Islam harus di-reorientasikan pada konsep dasarnya, yaitu merujuk kepada pandangan hidup Islam, yang dimulai dengan konsep manusia. Karena konsep manusia adalah sentral maka harus dikembalikan kepada konsep dasar manusia yang disebut fitrah. Artinya pendidikan harus diartikan sebagai upaya mengembangkan individu sesuai dengan fitrahnya. Seperti yang tertuang dalam al-A’raf, 172 manusia di alam ruh telah bersyahadah bahwa Allah adalah Tuhannya. Inilah sebenarnya yang dimaksud hadith Nabi bahwa “manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah..”
Fitrah tidak hanya terdapat pada diri manusia, tapi juga pada alam semesta. Pada keduanya Allah meletakkan ayat-ayat. Namun karena fitrah manusia tidak cukup untuk memahami ayat-ayat kauniyyah, Allah menurunkan al-Qur’an sebagai bekal memahami ayat-ayat pada keduanya. Pada ketiga realitas tersebut (diri, alam dan kalam Allah yakni al-Qur’an) terdapat ayat-ayat yang saling berkaitan dan tidak bertentangan. Oleh sebab itu jika manusia dengan fitrahnya melihat ayat-ayat kauniyyah melalui ayat-ayat qauliyyah, maka ia akan memperoleh hikmah.
Agar konsep dan praktek pendidikan Islam tidak salah arah, perlu disusun sesuai dengan fitrah manusia, fitrah alam semesta dan fitrah munazzalah, yaitu al-Qur’an. Jika proses pendidikan itu berjalan sesuai dengan fitrah, maka ia akan menghasilkan rasa berkeadilan dan sikap adil. Adil dalam Islam berarti meletakkan segala sesuatu pada tempat dan maqamnya. Artinya, pendidikan Islam harus mengandug unsur iman, ilmu dan amal agar anak didik dapat memilih yang baik dari yang jahat, jalan yang lurus dari yang sesat, yang benar (haqq) dari yang salah (batil).
Pendidikan Islam tidak hanya menekankan pada aspek kognitif (ta’lim) dan meninggalkan aspek afektif (amal dan akhlaq). Pendidikan yang terlalu intelektualistis juga bertentangan dengan fitrah. Al-Qur’an mensyaratkan agar fikir didahului oleh zikir (Ali Imran 191). Fikir yang tidak berdasarkan pada zikir hanya akan menghasilkan cendekiawan yang luas ilmunya tapi tidak saleh amalnya. Ilmu saja tanpa amal, menurut Imam al-Ghazzali adalah gila dan amal tanpa ilmu itu sombong. Dalam pendidikan Islam keimanan harus ditanamkan dengan ilmu, ilmu harus berdimensi iman, dan amal mesti berdasarkan ilmu. Begitulah, pendidikan Islam yang sesuai dengan fitrahnya, yaitu pendidikan yang beradab.

BAB III KONSEP PENDIDIKAN UNTUK GENERASI MUSLIM BERKUALITAS
Islam dikenal sebagai agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Namun Islam bukanlah hasil ijtihad atau pemikiran beliau saw. Akan tetapi langsung berasal dari Allah SWT. Di antara agama (syariat) yang pernah diturunkan Allah, Islam adalah yang agama terakhir yang paling sempurna seperti firman Allah SWT:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu dan telah Kuridloi Islam itu menjadi agama bagimu.” (Qs. Al-Maidah [5]: 3).
Kesempurnaan Islam ditandai antara lain dengan ketercakupan semua aktivitas manusia di semua aspek kehidupan di dalam aturan-aturannya, juga kemampuan Islam memecahkan semua masalah yang muncul di dalamnya. Tidak ada satu perbuatan manusia pun yang tidak ada aturannya dalam Islam.
Di dalam Islam telah ditetapkan bahwa setiap amal perbuatan harus terikat dengan aturan Islam. Firman Allah SWT:
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (Qs. Al-Hasyr [59]: 7).
Sabda Rasulullah saw: “Barangsiapa yang melakukan perbuatan yang tidak didasarkan pada perintah kami, maka tertolak.”
Dengan demikian ajaran Islam sempurna dan kaum muslimin harus mengikatkan setiap aktivitasnya dengan aturan-aturan Islam yang sempurna, termasuk juga aktivitasnya dalam membentuk generasi mendatang yang berkualitas.
A. Tujuan Pendidikan Islam
Pendidikan Islam yang merupakan upaya sadar, terstruktur, terprogram dan sistematis yang bertujuan untuk membentuk manusia yang: (1) memiliki kepribadian Islam, (2) menguasai tsaqofah Islam, (3) menguasai ilmu pengetahuan (iptek) dan (4) memiliki ketrampilan yang memadai.
1. Membentuk Kepribadian Islam (Syakhshiyyah Islamiyyah)
“Tidaklah beriman salah seorang diantara kalian, sehingga ia menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa-apa (dinul Islam) yang kubawa” (Hadist Arba’in An-Nawawiyyah)
Kepribadian Islam merupakan konsekuensi keimanan seorang muslim dalam kehidupannya. Kepribadian Islam seseorang akan tampak pada pola pikirnya (aqliyah) dan pola sikap dan tingkah lakunya (nafsiyah) yang distandarkan pada aqidah Islam.
Pada prinsipnya terdapat tiga langkah dalam pembentukan dan pengembangan kepribadian Islam sebagaiman yang pernah diterapkan Rasulullah Saw. Pertama, melakukan pengajaran aqidah dengan teknik yang sesuai dengan karakter aqidah Islam yang merupakan aqidah aqliyyah (aqidah yang muncul melalui proses perenungan pemikiran yang mendalam). Kedua, mengajaknya untuk selalu bertekat menstandarkan aqliyyah dan nafsiyyahnya pada aqidah Islam yang dimilikinya. Ketiga, mengembangkan aqliyyah Islamnya dengan tsaqofah Islam dan mengembangkan nafsiyyah Islamnya dengan dorongan untuk menjadi lebih bertaqwa, lebih dekat hubungannya dengan Penciptanya, dari waktu ke waktu.
Seseorang yang beraqliyyah Islam tidak akan mau punya pendapat yang bertentangan dengan ajaran Islam. Semua pemikiran dan pendapatnya selalu sesuai dengan keislamannya. Tidak pernah keluar pernyataan: “Dalam Islam memang dilarang, tetapi menurut saya itu tergantung pada pribadi kita masing-masing.” Harusnya pendapat yang keluar contohnya adalah “Sebagai seorang muslim, tentu saya berpendapaat hal itu buruk, karena Islam mengharamkannya.” Ketika ia belum mengetahui bagaimana ketetapan Islam atas sesuatu, maka ia belum berani berpendapat mengenai sesuatu itu. Ia segera menambah tsaqofah Islamnya agar ia segera bisa bersikap terhadap sesuatu hal yang beru baginya itu.
Seseorang yang bersikap dan bertingkah laku (bernafsiyyah) Islami adalah seseorang yang mampu mengendalikan semua dorongan pada dirinya agar tidak bertentangan dengan ketentuan Islam. Ketika muncul dorongan untuk makan pada dirinya, ia akan makan makanan yang halal baginya dengan tidak berlebih-lebihan. Ketika muncul rasa tertariknya pada lawan jenis, ia tidak mendekati zina, namun ia menyalurkan rasa senangnya kepada lawan jenis itu lewat pernikahan. Nafsiyyah seseorang harusnya semakin lama semakin berkembang. Kalau awalnya ia hanya melakukan yang wajib dan menghindari yang haram, secara bertahap ia meningkatkan amal-amal sunnah dan meninggalkan yang makruh. Dengan semakin banyak amal sunnah yang ia lakukan, otomatis semakin banyak aktivitas mubah yang ia tinggalkan.
Seorang yang berkepribadian Islam tetaplah manusia yang tidak luput dari kesalahan, tidak berubah menjadi malaikat. Hanya saja ketika ia khilaf melakukan kesalahan, ia segera sadar bertobat kepada Allah dan memperbaiki amalnya sesuai dengan Islam kembali.
2. Mengusai Tsaqofah Islam
“Katakanlah (hai Muhammad), apakah sama orang-orang yang berpengetahuan dengan orang-orang yang tidak berpengetahuan.” (Qs. az-Zumar [39]: 9).
Berbeda dengan ilmu pengetahuan (science), tsaqofah adalah ilmu yang didapatkan tidak lewat eksperimen (percobaan), tetapi lewat pemberitaan, pemberitahuan, atau pengambilan kesimpulan semata. Tsaqofah Islam adalah tsaqofah yang muncul karena dorongan seseorang untuk terikat pada Islam dalam kehidupannya. Seseorang yang beraqidah Islam tentu ingin menyesuaikan setiap amalnya sesuai dengan ketetapan Allah. Ketetapan-ketetapan Allah ini dapat difahami dari ayat-ayat al-Qur’an dan hadist-hadist Rasulullah. Maka ia terdorong untuk mempelajari tafsir al-Qur’an dan mempelajari hadist. Karena al-Qur’an dan hadist dalam bahasa Arab, maka ia harus mempelajari Bahasa Arab. Karena teks-teks al-Qur’an dan hadist memuat hukum dalam bentuk garis besar, maka perlu memiliki ilmu untuk menggali rincian hukum dari al-Qur’an dan hadist yaitu ilmu ushul fiqh. Pada saat seseorang belum mampu memahami ketentuan Allah langsung dari teks Al Qur’an dan hadist karena keterbatasan ilmunya, maka ia bertanya tentang ketetapan Allah kepada orang sudah memahaminya, dengan kata lain ia mempelajari fiqh Islam.
Demikianlah Bahasa Arab, Tafsir, Ilmu Hadist, Ushul Fiqh, dan fiqh merupakan bagian dari tsaqofah Islam. Dengan tsaqofah Islam, setiap muslim dapat memiliki pijakan yang sangat kuat untuk maju dalam kehidupan sesuai dengan arahan Islam.
3. Menguasai Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek)
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinyamalam dan siang terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang berakal.” (Qs. Ali-Imran [3]: 190).
Mengusai iptek dimaksudkan agar umat Islam dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah SWT dengan baik dan optimal di muka bumi ini. Lebih dari itu, Islam bahkan menjadikannya sebagai fardlu kifayah, yaitu suatu kewajiban yang harus dikerjakan oleh sebagian rakyat apabila ilmu-ilmu tersebut sangat dibutuhkan umat, seperti ilmu kedokteran, rekayasa industri, dan lain-lain.
4. Memiliki Ketrampilan Memadai
“Siapkanlah bagi mereka kekuatan dan pasukan kuda yang kamu sanggupi.” (Qs. al-Anfaal [8]: 60).
Penguasaan ketrampilan yang serba material, misalnya ketrampilan dalam industri, penerbangan dan pertukangan, juga merupakan tuntutan yang harus dilakukan oleh umat Islam dalam rangka pelaksanaan tugasnya sebagai khalifah Allah di muka bumi. Sebagaimana halnya iptek, Islam juga menjadikannya sebagai fardlu kifayah. Harus ada yang menguasainya pada saat umat membutuhkannya.
B. Pendidikan Dilaksanakan Sesuai Tahap Perkembangan Anak
Ahmad Zaki Shaleh membagi lima fase perkembangan anak sebelum baligh yaitu:
1. Fase prenatal (sebelum lahir)
2. Masa bayi (0 – 2 tahun)
3. Masa awal kanak-kanak (3 – 5 tahun)
4. Pertengahan masa kanak-kanak (6 – 10 tahun)
5. Akhir masa kanak-kanak (10 – 14 tahun)
Keberhasilan pendidikan anak sampai masa awal kanak-kanak (balita) terutama ditentukan oleh pihak keluarga, karena banyak dilakukan oleh keluarga dan dalam lingkungan keluarga. Sedangkan mulai pada masa pertengahan kanak-kanak, anak mendapatkan pendidikan di sekolah maka strategi pendidikan yang diterapkan negaralah terutama menentukan pencapaian tujuan pendidikan anak sesuai yang digariskan Islam. Selain keluarga dan negara, pihak lain yang berperan dalam pendidikan anak adalah masyarakat.
C. Pendidikan dalam Keluarga
Pendidikan dalam keluarga adalah pendidikan pertama dan terutama bagi anak. Pendidikan di keluarga bertujuan membentuk fondasi kepribadian Islam pada anak, yang akan dikembangkan setelah anak masuk sekolah.
Pada fase prenatal terjadi pertumbuhan yang penting di dalam rahim ibu. Suasana kesehatan dan kejiwaan ibu sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak dalam rahimnya. Rangsangan yang diberikan ibu kepada anaknya dalam rahim sangat penting bagi perkembangan selanjutnya. Ibu sebaiknya mengaktifkan komunikasi dengan anak sejak dalam rahim. Memasuki bulan keenam dan ketujuh masa kehamilan, bayi mulai mendengar suara-suara seperti detak jantung ibu, suara usus dan paru-paru, dan juga suara lain di luar rahim. Semua itu didengarkan melalui getaran ketuban yang ada dalam rahim. Suara ibu adalah suara manusia yang paling jelas didengar anak, sehingga suara ibu selalu menjadi suara manusia yang paling disukai anak. Anak menjadi tenang ketika ibunya menepuk-nepuk perutnya sambil membisikkan kata manis. Hal ini akan menggoreskan memori di otak anak. Semakin sering hal itu diulang semakin kuat guratan itu pada otak anak. Kemampuan mendengar ini sebaiknya digunakan oleh ibu untuk membuat anaknya terbiasa dengan ayat-ayat al-Qur’an. Karena suara ibulah yang paling jelas, maka yang terbaik bagi anak dalam rahim adalah bacaan ayat al-Qur’an oleh ibunya sendiri, bukan dari tape atau radio atu dari yang lain. Semakin sering ibu membaca al-Qur’an selama kehamilan semakin kuatlah guratan memori al-Qur’an di otak anak.
Masa 0 – 2 tahun didominasi oleh aktivitas merekam sedang masa 3 – 5 tahun didominasi oleh aktivitas merekam dan meniru. Pada masa sekarang, umumnya perkembangan anak lebih cepat sehingga aktivitas meniru muncul lebih cepat. Pada masa-masa inilah lingkungan keluarga memberikan nilai-nilai pendidikan lewat kehidupan keseharian. Semua orang yang berada di lingkungan keluarga harusnya memberikan perlakuan dan teladan yang baik secara konsisten. Ketika anak sudah mulai bermain ke luar rumah pada masa 3 – 5 tahun keluarga harus sudah bisa membentengi anak dari nilai-nilai atau contoh-contoh buruk yang ada di luar rumah.
Menurut Fatima Hareen (1976), masa 3-10 tahun merupakan fase-fase cerita dan pembiasaan. Pada saat inilah terdapat lapangan yang luas bagi orangtua untuk menggali cerita-cerita AlQur’an dan sejarah perjuangan Islam. Anak mengenali sifat-sifat pemberani, jujur, dan mulia dari pejuang-pejuang Islam.
Masa 6 – 10 tahun adalah masa pengajaran adab, sopan santun, dan sifat-sifat ahlaq. Juga merupakan masa pelatihan pelaksanaan kewajiban-kewajiban muslim seperti sholat dan shaum.
Rasulullah Saw bersabda:
“Apabila anak telah mencapai usia 6 tahun, maka hendaklah ia diajarkan adab dan sopan santun.” [HR. Ibnu Hibban].
“Suruhlah nak-anakmu mengerjakan sholat pada usia 7 tahun dan pukullah mereka pada usia 10 tahun bila mereka tidak sholat, dan pisahkan mereka dari tempat tidurnya (laki-laki dan perempuan).” [HR. al-Hakim dan Abu Dawud].
Masa akhir anak-anak (10-14 tahun) merupakan rentang usia di mana anak-anak umumnya memasuki masa baligh. Jadi masa ini anak-anak sudah dekat sekali atau bahkan sudah baligh. Karenanya pada masa ini pemberian tugas sudah harus dilengkapi dengan sanksi apabila mereka tidak menjalankan tugas yang diberikan. Setelah usia 10 tahun, walaupun mereka belum baligh, kita sudah harus memukul mereka agar mereka menjadi lebih disiplin dalam menjalankan sholat. Tentunya nasehat dalam bentuk verbal juga tidak ditinggalkan.
Demikianlah pendidikan dalam keluarga menyiapkan anak menjadi muslim YANG BERKUALITAS yang siap menjalankan semua taklif hukum dari Allah ketika ia memasuki usia baligh. Dari proses pendidikan yang digambarkan di atas dapat difahami bahwa sesungguhnya ibu bukan satu-satunya pihak yang bertanggung jawab akan pendidikan anak di dalam keluarga. Namun memang tidak dapat disangkal bahwa ibu adalah pihak yang paling dominan pengaruhnya dalam keberhasilan pendidikan anak karena ialah orang yang pertama kali memberi warna pada anak. Selain itu ibu adalah pihak yang paling dekat dengan anak sehingga dialah yang paling mudah berpengaruh pada anak. Tidak aneh ketika Islam menempatkan ibu sebagai suatu posisi utama bagi seorang wanita. Tugas-tugas sebagai seorang ibu harus didahulukan pelaksanaannya apabila berbenturan dengan pelaksanaan dengan aktivitas lain.
D. Pendidikan Dalam Masyarakat
Hampir sama dengan pendidikan dalam keluarga, pendidikan di tengah masyarakat juga merupakan pendidikan sepanjang hayat lewat pengalamam hidup sehari-hari. Masyarakat Islam memiliki karakteristik tersendiri dalam membentuk perasaan taqwa di dalam diri individu. Masyarakat sangat berpengaruh dalam mengubah perilaku individu. Masyarakat Islam juga memiliki kepekaan yang tinggi sehingga mampu mencium penyelewengan individu dari jalan Islam dan segera meluruskannya. Dalam pengawasannya individu tidak akan berani melakukan kemaksiyatan secara terang-terangan.
E. Pendidikan di Sekolah
Di dalam Islam menuntut ilmu adalah wajib ‘ain sebagaiman sabda Rasulullah Saw:
“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.”
Dalam hadist lain dikatakan:
“Jadilah kamu sebagai orang alim atau sebagai orang yang menuntut ilmu, atau sebagai orang yang mendengar ilmu, atau orang yang cinta terhadap ilmu. Akan tetapi janganlah kalian menjadiorang yang kelima (orang yang bodoh), nanti kalian akan binasa.”
Atas dasar ini maka negara wajib menyediakan pendidikan bagi warga negaranya. Pendidikan ini dilakukan di sekolah-sekolah. Ijma shahabat menunjukkan negara wajib memberikan pendidikan bebas biaya kepada setiap warga negara.
Karena menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim, maka sekolah tidak bisa dibatasi untuk anak-anak saja. Semua muslim yang sudah baligh harus mendapat jaminan melaksanakan kewajibannya menuntut ilmu. Sedangkan penyediaan sekolah untuk kepentingan terbetuknya generasi yang berkualitas dilakukan untuk anak-anak yang belum baligh sejak mereka berusia 7 tahun.
Untuk tercapainya tujuan pendidikan dalam Islam yaitu membentuk manusia yang berkepribadian Islam, menguasai tsaqofah Islam, iptek dan ketrampilan maka negara menerapkan sistem pendidikan.
Kurikulum yang digunakan tentunya bukan kurikulum yang sekuler seperti yang kita temukan saat ini di sekolah-sekolah di Indonesia. Pada kurikulum yang kita temukan saat ini, Islam tidak mewarnai mata pelajaran lain selain mata pelajaran agama Islam. Ketika anak belajar sejarah, ketatanegaraan, ekonomi, ilmu alam, dan yang lain-lain, mereka tidak menemukan kaitan antara pelajaran-pelajaran itu dengan aqidah Islam mereka, bahkan mereka menemukan adanya pertentangan. Mereka tidak mempelajari Siroh dan Tarikh Islam, namun mereka belajar tentang kejayaaan bangsa-bangsa yang menjajah kaum muslimin. Jika mereka belajar sejarah mengenai Islam , mereka mempelajari sejarah yang sudah diputarbalikkan oleh orientalis. Mereka belajar bagaimana negara kapitalis mengelola pemerintahan, bagaimana mereka mengelola ekonomi, sehingga mereka tidak mengenal sistem pemerintahan dan ekonomi Islam. Maka terbentuklah kehidupan mereka yang sekuler. Seharusnya aqidah Islam mewarnai semua mata pelajaran yang mereka dapatkan di sekolah.
F. Tiga Komponen Kurikulum
Dalam kurikulum ada tiga komponen yaitu: komponen pembentukan dan pengembangan kepribadian Islam, komponen tsaqofah Islam, dan komponen ilmu kehidupan (iptek dan ketrampilan). Contoh proporsi tiga komponen itu adalah 10: 45: 45.
Komponen kepribadian Islam diberikan secara konstan dan simultan dari jenjang pendidikan tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Artinya pembinaan kekokohan aqidah, dorongan agar siswa selalu menstandarkan pemikiran, sikap dan tingkah lakunya dengan aqidah Islam dilakukan terus menerus. Perbedaan yang ada hanya antara tingkat dasar dan lanjutan disebabkan siswa di tingkat dasar umumnya siswa yang belum baligh sehingga lebih banyak materi yang menumbuhkan keimanan. Baru setelah baligh, materinya merupakan kelanjutan untuk memelihara keimanan, juga untuk meningkatkan keimanan dan keterikatan kepada hukum syara’.
Adapun komponen tsaqofah Islam dan ilmu kehidupan diberikan pada semua tingkat pendidikan (dasar sampai PT) secara bertingkat sesuai tingkat pendidikan.

KESIMPULAN
Pendidikan Islam harus di-reorientasikan pada konsep dasarnya, yaitu merujuk kepada pandangan hidup Islam, yang dimulai dengan konsep manusia. Karena konsep manusia adalah sentral maka harus dikembalikan kepada konsep dasar manusia yang disebut fitrah.
Pendidikan Islam yang merupakan upaya sadar, terstruktur, terprogram dan sistematis yang bertujuan untuk membentuk manusia yang: (1) memiliki kepribadian Islam, (2) menguasai tsaqofah Islam, (3) menguasai ilmu pengetahuan (iptek) dan (4) memiliki ketrampilan yang memadai.
Ahmad Zaki Shaleh membagi lima fase perkembangan anak sebelum baligh yaitu:
1. Fase prenatal (sebelum lahir)
2. Masa bayi (0 – 2 tahun)
3. Masa awal kanak-kanak (3 – 5 tahun)
4. Pertengahan masa kanak-kanak (6 – 10 tahun)
5. Akhir masa kanak-kanak (10 – 14 tahun)
Seseorang yang bersikap dan bertingkah laku (bernafsiyyah) Islami adalah seseorang yang mampu mengendalikan semua dorongan pada dirinya agar tidak bertentangan dengan ketentuan Islam.
Pendidikan Islam tidak hanya menekankan pada aspek kognitif (ta’lim) dan meninggalkan aspek afektif (amal dan akhlaq). Pendidikan yang terlalu intelektualistis juga bertentangan dengan fitrah. Al-Qur’an mensyaratkan agar fikir didahului oleh zikir.
Menurut Imam al-Ghazzali adalah gila dan amal tanpa ilmu itu sombong. Dalam pendidikan Islam keimanan harus ditanamkan dengan ilmu, ilmu harus berdimensi iman, dan amal mesti berdasarkan ilmu.
Mengusai iptek dimaksudkan agar umat Islam dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah SWT dengan baik dan optimal di muka bumi ini.


DAFTAR REFERENSI

http://www.khairuddinhsb.blogspot.com
http://www.pai07aw.blogspot.com
http://www.duniaguru.com/index.php?option=com_content&task=view&id=189&Itemid=45
http://azzikra.com/berita/category/kolom-opini
http://forum.kammi.or.id/
http://pendidikan.net/?PHPSESSID=f01e28088524e3ee5809b213c5b59d5a



disebarkan luaskan oleh : http://tok0blog.blogspot.com