Jumat, 10 Juni 2011

IBU, Dia Perempuan Berkalung Surga


SAYA ‘NYARIS’ tidak percaya dengan pameo ‘Surga di telapak Kaki Ibu’. Kenapa? Buat saya, surga ya surga, Ibu ya ibu. Ketika surga kemudian dianalogikan dengan ibu, saya hanya berpikir, betapa sederhananya seorang ibu. Padahal, kekuatan ibu, kedahsyatan ibu, melebihi surga. Bagaimana tidak? Surga [konon] memang menjanjikan keindahan, kenyamanan, dan keabadian. Lebih kepada hadiah, reward, seperti neraka untuk hukuman dan punishment. Sementara logika saya, ibu –tanyalah kepada mereka yang disebut ibu—memilih berada di area ketulusan, tanpa pamrih dan berharap apa yang dilakukannya adalah sebuah impian untuk mendapatkan pamrih.
Ya, saya memang memuja ibu. Bukan pujaan membabi-buta dan menempatkan ibu sebagai ‘berhala’ di atas segalanya, bukan seperti itu. Saya memuja ibu karena dalam kondisi apapun, ibu selalu ingin menyenangkan anaknya. Saya memuja ibu, karena dia memilih ‘menderita’ ketimbang anak-anaknya melarat dan terlunta-lunta. Saya jadi agak bingung, ketika ada ibu yang memilih mati dan mengajak anaknya serta, karena merasa tidak sanggup mengentaskan kemiskinan, penyakit, dan kehampaan hidup lainnya. Tapi mengapa harus mengajak anak-anaknya? Dan mengapa harus memilih mati karena tekanan itu?
Saya mencoba mengutip data di Haiti. Patricia Wolff, direktur eksekutif badan kemanusiaan Meds & Food for Kids, menemukan fakta menyedihkan itu dalam lawatannya yang sering ke Haiti. Dikatakan Wolff, kelaparan sangat meluas di Haiti. Begitu banyak anak yang meninggal karena kekurangan gizi. Sebagian ibu di Haiti terpaksa menjatah makanan anak-anak mereka demi menyambung hidup. Namun sebagian ibu lainnya terpaksa membuat pilihan menyakitkan ketika jatah makanan mereka tidak cukup untuk semua. “Mengerikan. Mereka harus memilih di antara anak-anak mereka,” tutur Wolff.
Tidak mudah bukan menjadi ibu?
Saya berada di sisi yang mencintai ibu. Buat saya, ibu memang tak tak pernah habisnya mencintai anak-anaknya. Bahkan ketika kita sempet, sudah, atau memang sedang nakal sekalipun. Ibu selalu menjadi jembatan “perdamaian” ketika kita anak-anaknya punya persoalan dengan ayah atau antar anak. Ketika kita bersandar dia akan membelai dengan lembut. Tapi, ibu akan marah besar bila kami merebut jatah makan yang bukan hak kami. Ibuku memberi pelajaran keadilan dengan kasih sayang ketabahan. ibuku mengubah rasa sayur murah jadi sedap.
Ibu adalah hati yang rela menerima. Selalu disakiti oleh anak-anaknya, tapi penuh maaf dan ampun. Kasih sayang ibu adalah kilau sinar kegaiban ilahi yang membangkitkan haru insan. Ibu[ku] memberikan pemahaman bahwa agama bukan sesuatu yang angker. Agama itu nyata dan dekat dengan kehidupan sehari-hari, katanya. Dan aku tersenyum dalam belaiannya. Tertidur dengan [merasa] aman.
Buat saya, ibu adalah bunga yang setiap saat tumbuh di ladang luka-luka. Dia menjadi kesejukan ketika kita kepanasan dan mulai mengering. Terlebih, ibu membentangkan semua cinta yang ada pada hidupnya dan menyerahkan kepada kita anaknya. Dan akhirnya, saya setuju, sorga ada di hati ibu. Hingga kita menjadi cinta, yang tak pernah redup.
*untuk ibu[ku], mereka yang akan menjadi ibu, dan perempuan yang sudah menjadi ibu. thanks to wiji thukul

Sumber gambar: Robbie Alca
#sumber berita google

Tidak ada komentar:

Posting Komentar